ٍSEJARAH HUKUM ISLAM MASA KHULAFA'URRASYIDIN DAN PERKEMBANGANYA
BAB I
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji
bagi Allah swt. yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, serta hidayahNya kepada
kami, sehingga ana dapat menuangkan tinta untuk mengukir ilmu yang membahas
tentang Sejarah Hukum Islam Pada Masa Sahabat Rasulullah SAW, yang sangat di
butuhkan sebagai penambah wawasan, semoga persembahan kami dapat bermanfaat
bagi pembaca pada umumnya.
Sholawat serta salam marilah selalu kita
hadiahkan keharibaan Rosulullah Muhammad SAW sebagai hambah Alloh yang paling
sempurna, sebagai pendakwah syari’at Islam, sebagai Uswatun Hasanah umat Islam,
Allohumma sholli ‘alaa sayyidina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shohbihi ajma’in..
Tidak lupa kami sampaikan banyak terima kasih
kepada seluruh pembaca Makalah ini khususnya pada
Blog ini ( al-rasyied.blogspot.co.id ).
Terima kasih juga atas semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penulisan
makalah ini dengan ucapan, Jazaakumulloh ahsanal jaza’..
Akhir kata, saya sangat mengharap kritik dan saran dari pembaca
sehingga makalah bisa lebih sempurna dan bermanfaat.
BAB II
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Periode kedua pada masa perkembangan fiqih atau
hukum islam bermula sejak wafatnya Nabi Muhammad Saw pada tahun 11 H dan
berakhir ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai khalifah pada tahun
41 H. Pada periode – periode ini hiduplah sahabat – sahabat Nabi terkemuka yang
mengibarkan bendera dakwah islam setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw.
Masa Khulafaur Rasyidin atau masa Kibarus
Sahabat, bisa dibilang sebagai masa yang penuh dengan kekuatan sekaligus
perpecahan.[1] Disebut sebagai masa kekuatan islam, karena
pada masa ini, jiwa dan akidah umat islam masih melekat erat pada diri masing –
masing identitas masyarakat islam pada masa itu sebagai hasil usaha keras Nabi
dalam menyebarkan agama islam dan mengajarkan ketauhidan pada diri mereka,
sehingga akidah umat islam masa ini masih kuat. Namun, masa ini disebut juga
masa permulaan perpecahan umat islam, karena setelah Nabi Muhammad SAW
meninggal dunia, para sahabat mulai berselisih mengenai siapakah yang akan
menjadi pemimpin umat islam berikutnya, yang bermula dari peristiwa Tsaqifah
bani Sa’idah yang berjarak beberapa kilometer dari kediaman Nabi di Madinah
saat masa wafatnya. Hal ini muncul karena Nabi Muhammad, sebagai panutan dan
petunjuk bagi mereka tidak mewasiatkan atau menunjuk seseorang sebagai
penggantinya kelak. Beberapa pendapat mengatakan bahwa hal ini dilakukan agar
para sahabat dapat berijtihad sesuai dengan perkembangan zaman masing – masing
sahabat itu.
Hal ini sebagaimana di hadits Rasulullah SAW: (أنتم أعلم بأمور
دنياكم),
yang artinya “Kalian – kalian semua lebih mengetahui tentang urusan dunia
kalian”. Dalam berbagai hal, sahabat adalah orang yang paling dekat dengan
Nabi, terutama empat sahabat yang terkenal dengan sebutan Khulafa’ur Rasyidin.
Dalam hadits disebutkan juga (أصحابي كالنجم بأيهم اقتديتم اهتديتم), yang artinya “sahabat – sahabatku ibarat
bintang – bintang, siapa saja yang kalian ikuti maka kalian akan mendapatkan
petunjuk (hidayah)”. Berbeda dengan Nabi yang ma’shum tentu saja para sahabat
sebagai manusia biasa juga pernah membuat kesalahan, dan dalam menetapkan
hukumnya juga pasti akan sangat berhubungan dengan dasar pemikiran, sosio –
kultural di samping ilmu – ilmu agama yang dimiliki mereka. Oleh karena itu
sering terjadi perbedaan tasyri’ dalam suatu permasalahan terutama tanpa
“qoth’iyud dilalah.”
BAB III
PEMBAHASAN
A. KONDISI HUKUM ISLAM PADA MASA KHULAFA’UR
RASYIDIN DAN PERKEMBANGANNYA
Periode Khulafa’ur Rasyidin ini dimulai sejak
wafatnya Rasulullah SAW pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 H atau 632 M, dan
diakhiri pada akhir abad pertama Hijriyah (11 – 41 H atau 632 – 661 M). Menurut
para ahli sejarah islam, periode ini adalah periode penafsiran undang – undang
dan terbukanya pintu – pintu Istinbath Hukum dalam kejadian – kejadian yang
tidak ada nash hukumnya. Dari pemuka – pemuka sahabat timbullah banyak pendapat
dalam menafsirkan nash – nash hukum dalam al – Quran dan al – Hadits yang dapat
dipandang sebagai pandangan yuridis bagi penafsiran – penafsiran nash serta
sebagai penjelasannya.[2]
Setelah wafatnya Nabi, umat islam menghadapi
banyak masalah. Hal ini dikarenakan semakin meluasnya pemerintahan islam hingga
melampaui semenanjung Arabiyah, itu juga tentunya membawa dampak yang begitu
besar bagi perkembangan pemikiran umat islam pada masa itu. Berbagai macam
permasalahan yang timbul dikarenakan vakumnya pemerintahan dan karena perluasan
wilayah islam semakin memaksa para sahabat untuk benar – benar berijtihad dalam
menyelesaikan permasalahan tersebut. Secara umum permasalahan – permasalahan
itu dapat diklasifikasikan menjadi beberapa aspek, yaitu:
1. Aspek Politik
a. Kekhalifahan Abu Bakar (11 – 13 H atau 632 –
634 M)
Masalah yang paling urgen di kalangan umat
islam pasca wafatnya Nabi SAW adalah masalah politik, terutama masalah imamah
atau kekhalifahan. Dalam masa kevakuman pemerintahan ini, masyarakat islam
membutuhkan sosok pemimpin baru, karena tanpa kehadiran seorang pemimpin baru,
wilayah kekuasaan islam yang telah membentang sampai wilayah sebagian besar
jazirah Arab, akan dengan mudah hancur atau terpecah – belah kembali, di
samping kekhawatiran adanya serangan dari bangsa – bangsa lain, seperti dari
bangsa Romawi dan Persia, sehingga stabilitas keamanan umat islam saat itu
terancam. Namun yang menjadi persoalan adalah bahwa Nabi Muhammad di akhir
hayatnya tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan meneruskan
perjuangannya menjadi khalifah dan menyebarkan agama islam ke seluruh Dunia.
Hal ini kemudian menjadi tanda tanya sekaligus tugas terbesar bagi umat islam
saat itu terutama para Sahabat Nabi Saw, Meskipun ada satu riwayat bahwa Nabi
Saw telah menulis sebuah wasiat untuk menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai
khalifah pertama, namun kemudian dicegah oleh Umar bin Khattab.[3]
Sampai akhirnya muncullah suatu peristiwa
bersejarah yang terkenal dengan sebutan “Tsaqifah”. Peristiwa ini terjadi di
Madinah, tepatnya di daerah Tsaqifah dengan penduduk sekitarnya adalah
mayoritas keturunan suku ‘Aus dan suku Khazraj yang secara historis telah
menjadi musuh bebuyutan semenjak pra-islam. Kedua suku yang terkenal dengan
sebutan kaum Anshor, merasa paling berhak untuk menyatakan dan mengangkat diri
mereka sebagai seorang khalifah sebagai penerus dan pengganti Nabi SAW, karena
atas jasa merekalah umat islam bisa terus Berjaya hingga saat itu. Meskipun
sebenarnya kedatangan Nabi dan Para Muhajirin Lainnya ke kota yang dulu
terkenal dengan nama Yatsrib itu adalah atas permintaan dari kedua kelompok
sosial itu, dengan tujuan agar perseteruan di antara kedua suku itu berhenti,
karena kalau peperangan antar kedua suku itu terjadi terus – menerus maka kedua
suku itu akan punah. Dan benar saja Nabi Muhammad dengan kekuatan Islam dan
akhlaknya yang luhur mampu mendamaikan kedua suku itu selama 13 tahun lebih.
Beralih ke masalah Tsaqifah, pada peristiwa
ini, kedua suku itu serasa dikembalikan kembali ke adat jahiliyah mereka, untuk
saling bertarung dan bermusuhan kembali walaupun dalam diri mereka telah
tertanam nilai – nilai islam yang menjunjung tinggi perdamaian dan
persaudaraan. Bagi mereka, bila Nabi Muhammad telah wafat berarti tidak ada
lagi seorang pendamai di antara mereka, sehingga hal itu membuat mereka
bermusuhan kembali. Pada saat itu datanglah para sahabat dekat Nabi Muhammad
SAW, yang dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar. Umar dan sahabat lainnya kemudian
langsung memproklamirkan Abu Bakar dari golongan Muhajirin sebagai Pengganti
Nabi sebagai Khalifah Umat Islam. tentu saja hal ini tidak di setujui oleh kaum
anshor, yaitu kedua suku ‘Aus dan Khazraj, karena menurut mereka, mereka tidak
lebih baik dari golongan anshor. Namun, meskipun demikian, ternyata pada
akhirnya kedua suku itu - dikatakan - menyetujui Abu Bakar sebagai khalifah
pengganti Nabi SAW. Namun sebenarnya tindakan mereka yang turut membai’at Abu
Bakar sebagai khalifah pertama tidak lebih hanyalah sebuah perfect disguise (Pura
– pura yang sempurna).
Fakta sejarah telah membuktikan bahwa
dipilihnya Abu Bakar saat itu sebagai seorang Khalifah dipengaruhi oleh
beberapa hal, antara lain:
- Dari segi Nasab, Abu Bakar yang merupakan
keturunan dari bani Taim, keturunan suku Quraisy, nama lengkapnya adalah
Abdullah bin Utsman bin Amir bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’adalah bin Taim.
Bani Taim adalah satu dari dua belas cabang suku Quraisy. Sekelompok suku
minoritas yang tidak memihak kubu manapun itu ternyata telah dianggap
sebagai mediator bagi suku ‘Aus dan Khazraj yang membutuhkan seorang
pemimpin yang tidak berasal dari kelompok mereka. Apakah pemimpin itu
bernama Abu Bakar atau Abu Jahal atau siapapun, bagi mereka itu bukanlah
hal yang penting, karena saat itu mereka sedang mempertaruhkan suatu hal
yang sangat besar, yaitu kelangsungan hidup kedua suku mereka. Jadi
otomatis pada saat Umar membai’at Abu Bakar, maka Basyir bin Sa’ad dari
bani Khazraj ikut membai’at Abu Bakar, yang kemudian langsung diikuti oleh
saingannya, yakni Usaid bin Hudhair dari bani ‘Aus.[4] Kemudian para pemuka – pemuka
sahabat yang lain termasuk Ali bin Abi Thalib juga membai’at Abu Bakar
secara keseluruhan dan menunjukkan adanya sistem Demokrasi pada masa itu.
Sebenarnya dalam diri Abu Bakar tidak ada sama sekali ambisi politik untuk
memimpin umat islam, namun karena mempertimbangkan kemaslahatan umum, maka
Abu Bakar bersedia dilantik menjadi Khalifah.
- Hal lain yang mendukung pengangkatan Abu
Bakar Sebagai Khalifah saat itu adalah bahwa saat itu beliaulah yang
paling sepuh di antara para sahabat terdekat. Pada masa sebelum
pembai’atannya sebagai khalifah, Abu Bakar juga berpidato kepada Kaum
Anshor yang berbunyi : “Sesungguhnya orang – orang Arab tidak mengakui
kekuasaan ini kecuali untuk orang – orang Quraisy”. Setelah 2 tahun
memerintah (11 – 13 H) akhirnya Abu Bakar menghembuskan Nafasnya yang
terakhir pada bulan Jumadil Akhir 13 H atau 634 M, setelah sebelumnya
mewasiatkan Umar sebagai Khalifah Penerusnya.
b. Kekhalifahan Umar bin Khattab (13 – 23 H
atau 634 – 643 M)
Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza dari
bani Adi bin Ka’ab. Bani Ka’ab juga termasuk keturunan Quraisy. Dalam Islam,
sebenarnya masalah – masalah kekhalifahan yang termasuk masalah keduniawian
harus melalui ijma’ atau musyawarah. Sebagaimana firman Allah (وشاورهم في
الأمر).
Namun agaknya dalam pengangkatan Umar bin Khattab ini terjadi sedikit permainan
Politik di tangan kaum Quroisy. Sebuah makalah yang ditulis oleh Henri Lammens
yang berjudul Kelompok Politik Tiga Orang (triumvirat) Abu Bakar, Umar bin
Khattab dan abu Ubaidah, yang menceritakan keakraban mereka bertiga sejak awal
masuk islam, dalam peperangan, hingga kepergiannya ke pertemuaan saqifah tanpa
memberitahu sahabat lainnya termasuk Ali bin Abi Thalib, untuk mengajukan Abu
Bakar sebagai Khalifah Pertama, ternyata tidak berhenti sampai di sini saja,
persekongkolan politik mereka berlanjut hingga saat pemberian wasiat Abu Bakar
kepada Umar di tengah – tengah sahabat yang lain sebagai khalifah
penggantinya.
Meskipun Abu Bakar beralasan agar tidak terjadi
konflik politik lagi seperti dahulu, namun sebagai manusia berjiwa Arab yang
menjunjung kesukuan Quraisy, tentu saja dia tidak ingin masyarakat islam
dipimpin oleh selain Suku Quraisy, sehingga dia kemudian berinisiatif untuk
mewariskan kekhalifahannya kepada Umar bin Khattab. Diriwayatkan pula bahwa
pada masa – masa menjelang kematiannya, Umar bin Khattab berencana ingin
mewasiatkan kekhalifahannya pada Abu Ubaidah, kalau saja saat itu dia masih
hidup dan Umar tidak megutusnya sebagai panglima pasukan untuk berperang dengan
pasukan Romawi yang kemudian berakhir dengan kematian Abu Ubaidah.
Berbeda dengan Abu Bakar yang tidak terlalu
suka dengan Politik, Umara’ adalah sosok sahabat yang memiliki naluri negarawan
atau jiwa nasionalis yang besar, arif akan liku – liku kekuasaan dan lebih
paham tentang bagaimana caranya menangani penduduk Arab yang berjiwa pengembala
yang keras. Umar bukanlah prajurit yang hebat di medan peperangan, bila
dibandingkan dengan Ali bin Abi Thalib atau Hamzah, namun dalam mengatasi
kemelut politik ini, dia termasuk pemberani yang sedia juga menerjang bahaya.
Ia malah berani menghapus kalimat adzan (حيا على خير العمل) yang artinya : “marilah melakukan amal yang baik”, konon untuk
mengarahkan semangat perang jihad dan agar lebih memompa semangat kaum muslimin
yang disebarkan ke berbagai penjuru, ia juga berani menambahkan kalimat (الصلاة خير من
النوم)
yang artinya : ”Shalat itu lebih baik daripada tidur”, dia juga orang pertama
yang menjuluki didrinya sebagai Amiru al – mukminin, orang pertama yang membuat
Penanggalan Islam atau Kalender Hijriyah yang dimulai awal Hijrah Nabi Muhammad
SAW, memelopori perluasan masjidil haram, membentuk kantor pemerintahan, mata
uang dan masih banyak lagi.
Kekhalifahannya berakhir setelah kematian
syahidnya akibat sebuah konspirasi politik yang dirancang oleh musuh – musuh
islam, terutama kalangan Yahudi dan Persia, yang sangat membencinya karena pada
kekhalifahannya, Kekaisaran Persia telah dihilangkan dari muka Bumi. Beliau
Mati syahid terkena tikaman belati beracun saat sedang melakukan sholat subuh,
oleh seorang mantan budak Persia, Abu Lu’luah al – Majusi. Sebelum naza’ dia
sempat ingin memilih Abu Ubaidah sebagai penerusnya, karena hubungan dekatnya dengan
abu ubaidah dari semenjak awal masuk islam, pembaia’atan Abu Bakar dan
pengangkatannya. Namun karena sahabat terdekat seperjuangannya telah meninggal
dunia, maka dia pun mewasiatkan tampuk kekhalifahannya pada 6 orang sahabat
yang termasuk dalam orang – orang yang akan masuk surga berdasarkan hadits
Rasulullah, yaitu : Utsman bin Affan, Ali bin abi Thalib, Thalhah, Zubair,
Abdur Rahman bin Auf dan Sa’ad bin Abi Waqosh. Kepada 6 orang ini umar
berwasiat untuk memilih salah satu di antara mereka sebagai khalifah
penerusnya. Umar bin Khattab Wafat pada bulan Dzulhijjah 23 H atau 643 M dan
memerintah selama 10 tahun lamanya.
c. Kekhalifahan Utsman bin Affan (23 – 35 H
atau 644 – 656 M)
Dia bernama Utsman bin Affan bin Abi ’Ash bin
Umayyah bin Abdu Syams, berasal dari bani Umayyah. Setelah kematian Umar, para
sahabat enam yang ditunjuknya ternyata sama – sama tidak berhasrat untuk
menjadi khalifah, satu persatu di antara mereka mengundurkan diri hingga
akhirnya hanya tinggal Utsman dan Ali, kemudian mereka pun mengadakan voting
(pengambilan suara) di mana mereka bertanya pada penduduk muslim setempat,
manakah yang mereka pilih sebagai khalifah, Utsman atau Ali. Setelah dilakukan
pengambilan suara oleh keempat sahabat yang mengundurkan diri tersebut yang ternyata
langsung mengajukan diri mereka menjadi dewan pemilihan umum, akhirnya
mayoritas umat islam menginginkan Utsman bin Affan sebagai Khalifah karena
usianya yang lebih tua dibandingkan dari Ali, tentunya akan lebih menjadi
pemimpin yang bijaksana.
Dia dibai’at sebagai khalifah saat berusia 70
tahun. Pada masa pemerintahannya jumlah kekayaan kaum muslimin sangat banyak
sekali dan dia melihat bahwa banyak gubernur – gubernur yang kurang cakap
memerintah dijadikan gubernur, sehingga yang terjadi adalah korupsi dan
penggelapan uang Negara, hingga akhirnya dia memutuskan untuk mengganti
gubernur – gubernur yang tidak kompetitif tersebut dengan gubernur – gubernur
baru, yang tentu saja berasal dari keturunan bani Umayyah. Permainan politik
ini tentu saja diprotes oleh mantan gubernur – gubernur di berbagai daerah
tersebut, hal ini dimanfaatkan oleh seorang yahudi, Abdullah bin Saba’ untuk
menyebarkan fitnah di kalangan umat islam Mesir, Kufah dan Bashrah, yang pada
prinsipnya bahwa Utsman telah merebut hak Ali bin Abi Thalib sebagai seorang
khalifah, maka pasukan pemberontak dari Mesir, Kuffah dan Bashrah secara
bersamaan datang bersama – sama menyerbu Madinah untuk mendebat Khalifah, namun
Ali yang mengetahui hal ini segera menenagkan mereka dan menjelaskan duduk
persoalannya, sehingga mereka sadar dan kemudian kembali ke masing – masing
daerah. Namun lagi-lagi Abdullah bin Saba’ membuat surat fitnah atas nama
khalifah, Ali dan Aisyah yang di dalamnya berisi tulisan bahwa khalifah akan
mengundurkan diri dan Ali akan jadi Khalifah, barangsiapa yang tidak setuju,
maka dia akan dibunuh. Maka mereka pun kembali ke Madinah dan mengepung
kediaman khalifah, hal ini dimanfaatkan sangat baik oleh Abdullah bin saba’
yang kemudian mengisukan kedatangan pasukan pembela khalifah dari berbagai
daerah, para pemberontak ini pun khawatir hingga akhirnya mereka mendesak masuk
ke rumah khalifah Utsman dan kemudian membunuhnya pada saat dia sedang membaca
al – Quran mushaf Utsmaninya.
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa yang
membunuh Utsman adalah al – Ghafiqi. Khalifah Utsman wafat pada bulam
Dzulhijjah tahun 35 H atau 656 M, usia kekuasaannya adalah 12 tahun. Salah satu
kebijakan Utsman selama memerintah adalah penyatuan bacaan al – Quran dalam
satu mushaf setelah khawatir terjadinya perbedaan cara baca dalam qiroah
sab’ah, kemudian menamainya dengan Rasm Utsmani dan membakar al – Quran yang
lainnya untuk memelihara persamaan bacaan di antara kaum muslimin yang pada
saat itu sudah sangat luas sekali kekuasaannya.
d. Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (35 – 40 H
atau 656 – 661 M)
Namanya Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib,
sepupu Rasulullah, keturunan Quraisy. Dia dibaiat menjadi khalifah bukan atas
kemauan sendiri, namun karena kemauan para sahabat lain karena kekhawatiran
mereka mengenai konflik yang sedang terjadi di kalangan umat islam. Ali
bukanlah orang yang pandai dalam hal politik, dia lebih dikenal sebagai sosok
“pintu ilmu” dan juga seorang pemberani dan tangkas sebagai prajurit dalam
medan perang, banyak orang yang terbunuh di tangannya, termasuk paman, kakek
dan saudara Mu’awiyah yang ketiganya meninggal akibat pedang Ali.
Namun tanpa sadar hal itu malah membuat Ali
seolah – olah sedang menumbuhkan musuh – musuh di sekelilingnya, seperti
Mu’awiyah yang saat itu sangat membencinya. Ali terbunuh oleh seorang Khawarij
yang bernama Abdurrahman bin Muljam pada saat akan melaksanakan shalat subuh.
Peristiwa ini dipicu oleh adanya peristiwa pemberontakan sampai perang jamal
antara Ali dan Aisyah serta Mu’awiyah, yang dikonspirasi oleh Mu’awiyah sebagai
usaha balas dendamnya atas darah keluarganya yang tewas di tangan Ali bin Abi
Thalib. Peristiwa pembunuhan ini terjadi pada bulan Ramadhan tahun 40 H atau
661 M. Dengan meninggalnya Ali bin Abu Thalib berakhirlah periode khulafaur Rasyidin
yang kenudian dilanjutkan oleh periode Bani Umayyah.
Masalah – masalah yang diklasifikasikan, pada
aspek yang kedua adalah sebagai berikut :
2. Aspek Fiqih
Semakin luasnya wilayah islam, maka
perkembangan ijtihad para sahabat pun semakin besar, hal ini disebabkan
munculnya masalah – masalah baru terkait dengan budaya bangsa era itu sendiri,
sebagaimana yang kita ketahui daerah Makkah mempunyai keberbedaan budaya dengan
daerah Mesir. Namun justru hal inilah yang kemudian semakin memperkaya Tsarwah Fiqhiyyah
umat islam pada zaman tersebut. Fiqih atau penggalihan hukum islam pada periode
Khulafa’ur Rasyidin ini terasa sangat hidup dan semarak. Beberapa ikhtilaf
mulai muncul, meskipun lebih kecil dibanding periode berikutnya, seiring dengan
perkembangan fiqih itu sendiri.
Selain periwayatan hadits yang sangat ketat,
pada periode ini ijtihad seringkali dilakukan secara jama’i sehingga ruang
ijtihad yang begitu luas itu jarang menimbulkan ikhtilaf. Pada periode ini
fatwa – fatwa dan masa’il fiqih belum ditulis seperti juga sunnah. Kendati
demikian, kita mulai dapat mengklasifikasikan kaidah – kaidah ushuliyah dan
metode ijtihad yang digunakan oleh fuqaha’ sahabat dalam melakukan ijtihad.
Dalam banyak hal, fatwa-fatwa dan masa’il fiqhiyah itu memang masih bercampur
dengan dalil – dalil dan kaidah – kaidah Istidlal.
3. Aspek Akidah
Aspek akidah pada masa setelah wafatnya Rasul
menjadi hal yang sangat menggelisahkan umat islam. berawal dari berita wafatnya
Nabi Muhammad yang tersebar di kalangan para sahabat, membuat mereka merasa
kehilangan yang sangat besar karena secara historis Nabi Muhammad – lah yang
mampu mengangkat mereka dari keterpurukan dan kesesatan serta kekufuran menuju
ketauhidan dan agama islam yang rohmatan lil alamin itu. Bagi mereka Nabi adalah
sesosok agung yang senantiasa memberikan cahaya petunjuk dan keadilan bagi
seluruh lapisan masyarakat islam zaman itu. Sehingga ketika mendengar Nabi yang
begitu mereka cintai itu, yang telah memimpin dan menjadi petunjuk bagi mereka
selama 38 tahun (25 – 63 tahun), hati dan iman mereka mulai gelisah.
Hal ini juga yang dialami sahabat Umar ketika
mendengar Nabi wafat, dia langsung berkata : ’’barang siapa yang berkata bahwa
nabi Muhammad telah wafat maka akan kutebas lehernya”. Namun akhirnya hati Umar
pun luluh manakala mendengar pidato abu Bakar : “Barang siapa yang menyembah
Allah, sesungguhnya Allah Hidup, tetapi barangsiapa yang menyembah Muhammad
sesungguhnya Muhammad telah wafat”. Tidak hanya sampai di sini, persoalan
akidah menjadi sangat berat manakala ada beberapa oknum islam yang memanfaatkan
kegelisahan iman dan akidah umat islam saat itu dengan memanfaatkannya untuk
menyampaikan dan mengumandangkan pendapat – pendapatnya, di antara mereka ada
beberapa pimpinan rakyat yang kemudian mengaku dirinya telah diangkat menjadi
Nabi penerus Muhammad, seperti Musailamah al – Kadzab.
Selain itu ada juga beberapa orang yang
menyerukan bahwa kewajiban menunaikan zakat itu telah berhenti setelah wafatnya
nabi, karena menurut mereka zakat itu diberikan utuk kepentingan nabi. Hal –
hal ini lah yang kemudian mamaksa Abu Bakar untuk memerangi mereka dengan
tujuan untuk melenyapkan penyakit – penyakit kekufuran dan pemberontakan dari
tubuh islam atau yang biasa kita sebut orang munafik, karena dikhawatirkan hal
ini akan merambat dan mempengaruhi umat islam yang lain.
B. SUMBER - SUMBER TASYRI’UL HUKMI
1. Al – Quran
Al – Quran adalah sumber primer dalam
penggalian atau pembentukan hukum islam, apakah itu pada masa Nabi, Sahabat,
Tabi’in hingga sekarang peran al – Quran sebagai Sumber Hukum Islam Pertama
atau primer yang wajib didahulukan daripada sumber hukum lainnya. Al – Quran
adalah kalam Allah yang diimplementasikan dalam bentuk kalam insan yang
diberikan kepada Nabi Muhammad SAW bertahap – tahap sesuai dengan permasalahan
yang terjadi di sekitar Nabi pada masa itu, atau permasalahan yang ditanyakan
kepada Nabi, atau hal – hal lainnya yang belum diketahui manusia.
Pengimplementasian al – Quran dalam bentuk kalam insan ini terjadi karena Sang
Pemilik Kalam (Allah swt) menghendaki agar kalamNya dapat dipahami untuk
dijadikan sebuah pedoman, disebarkan, diajarkan kepada seluruh umat manusia.
Sehingga jika hal ini yang dinginkan maka tentu saja didalam kalam Insan
tersebut harus memuat unsur – unsur esensial yang dapat diterima dan diterapkan
di berbagai space, time and people di seluruh dunia.
Oleh karena itu, walaupun kalam insan ini
diturunkan di sosio – kultural suatu daerah yang terkenal dengan padang
pasirnya yang panas, namun unsur – unsur esensial atau filosofi dalam kalam
insan ini pasti berlaku umum bagi seluruh lapisan manusia di berbagai daerah
dan waktu. Hanya saja yang dibutuhkan adalah pemahaman nilai – nilai ajarannya
dengan menggunakan pemahaman atau tafsir yang sesuai dengan jiwa hukumnya. Hal
ini semakin dipermudah terutama setelah dibukukannya atau dikumpulkannya ayat –
ayat al – Quran dalam satu mushaf pada masa Abu Bakar, sehingga proses
penggalian hukum pada masa ini semakin memperoleh kemudahan.
2. Al – Hadits
Bila ada suatu masalah hukum yang tidak
terdapat pada al – Quran, maka selanjutnya para sahabat selalu mengembalikan
permasalahan hukum tersebut kepada al – Hadits selaku sumber hukum kedua
(Sekunder). Hal ini juga berlaku umum untuk seluruh masa perkembangan hukum
islam. Pada masa Khulafa’ur Rasyidin, proses Takhrijul Hadits Listinbatil Hukmi
benar – benar diawasi dengan sangat ketat, agar tidak ada satupun hadits yang diriwayatkan
oleh perowi dalam keadaan maudhu’ atau dibuat – buat. Bahkan sahabat Abu bakar
dan Umar pun mensyaratkan para perowi untuk menyebutkan para rijalul haditsnya
ketika meriwayatkan suatu hadits tertentu.
Kelemahan dari penggunaan dalil hukum islam ini
belum dibukukannya hadits, sehingga tiap – tiap sahabat memiliki kuantitas
hafalan dan pengetahuan yang berbeda – beda antara satu dengan yang lain,
sehingga hasil ijtihad yang diambil pun kadang – kadang bertentangan dengan
pendapat sahabat yang lain. Namun, untuk mengatasi masalah ini, para sahabat
sering menggunakan metode ijma’ atau diskusi serta tanya jawab dengan sahabat
yang lainnya. Sehingga akan tercipta khazanah keilmuan yang mumpuni pada diri
masing – masing sahabat dengan adanya diskusi atau periwayatan hadits.
3. Ijtihad Sahabat
Jika dalam suatu permasalahan yang muncul itu
tidak ditemukan hukumnya dalam al – Quran maupun Hadits, maka para sahabat pun
berijtihad dengan menggunakan Ro’yu atau buah pemikiran mereka. Ijtihad adalah
mencurahkan segenap kesungguhan dalam penggalian hukum syar’i yang bersumber
dari al – Quran dan Hadits yang telah ditetapkan sebagai dalil hukum. Ijtihad
yang dilakukan para sahabat dalam periode ini biasanya menggunakan metode ijma’
atau qiyas, baru kemudian maslahah.
Ijma’ terjadi secara jama’i terhadap suatu
permasalahan, namun pada masa ini ijma’ tidak harus dalam suatu acara yang
formal namun bisa berbentuk diskusi atau tanya jawab antara dua orang sahabat
atau lebih, yang walaupun biasanya masing – masing punya metode sendiri –
sendiri sehingga jarang sekali terjadi penyatuan pendapat, namun perbedaan ini
tidak sampai menimbulkan konflik di kalangan umat islam itu sendiri, hal ini
malah mampu menambah tsarwah fiqhiyyah mereka.
Dalam metode qiyas para sahabat mengambil hukum
dari nash-nash yang bisa dikaji ulang, dengan asumsi bahwa setiap nash itu
punya illat (sebab hukum) yang menjelaskan sebab hukumnya, punya illat yang
bisa dijadikan dasar penggalian hukumnya, punya illat yang bisa memungkinkan
masuknya kategori permasalah baru yang di dalamnya dijumpai adanya illat
tersebut, sedangkan nash itu tidak menghukumi perkara baru tersebut. Bila kedua
hal itu tidak bisa dilakukan maka biasanya para Kaba’irus Shohabah mencari jiwa
hukumnya atau subtansi hukumnya yang menurut mereka pasti akan mempunyai satu
arah tujuan yaitu kemaslahatan dan keadilan hukum. Metode maslahah ini banyak
digunakan sahabat ketika melihat bahwa dalam masyarakatnya yang baru dan
majemuk, serta perbedaan sosio-kultural di antara masyarakat satu dengan yang
lainnya, membutuhkan dinamisasi hukum, karena permasalahan-permasalahan sosial
yang bersifat dinamis itu tidak mungkin dihukumi dengan nash-nash syar’i yang
statis, yang hanya diberlakukan pada suatu daerah hukum dan masyarakat di
Makkah dan Madinah saja.
Para sahabat pada masa ini tidak berijtihad
atau mengeluarkan pendapat terhadap suatu perkara sehingga perkara itu muncul/
ada yang menanyakannya, jika hal itu terjadi maka mereka berijtihad untuk
menggali hukumnya, jika tidak maka mereka tidak pernah membuat suatu institusi
hukum semisal MUI, untuk membuat masalah sekaligus menghukuminya. Hal inilah
yang menyebabkan fatwa-fatwa hukum yang dinukil dari para sahabat di periode
tersebut sangat sedikit sekali.[5]
Dasar penggunaan ketiga sumber hukum ini adalah
hadits yang menceritakan tentang pengutusan Mu’adz bin Jabal ke Syam oleh Nabi
Huhammad SAW, sebelum mengutusnya Nabi menanyainya : “bila engkau menemukan
masalah di sana apa yang akan kau lakukan?”, maka Mu’adz pun menjawab : “aku
akan menghukuminya dengan Kitab Allah, dan jika aku tidak menemukan hukumnya,
maka aku akan kembali pada sunnah RasulNya, dan jika aku tidak berhasil, maka
aku akan berijtihad (untuk menghukuminya) dengan pikiranku”. Kemudian rasul
menepuk bahunya sebagai tanda persetujuan beliau terhadap Mu’adz bin Jabal.
C. SEBAB – SEBAB IKHTILAF PADA MASA SAHABAT
Sebab – sebab ikhtilaf yang terjadi pada masa
pemerintahan para sahabat sangatlah banyak, yang akan kami sebutkan sebagai
berikut :
1. Perbedaan dalam memahami nash al-Quran dan
Hadits.
Hal ini disebabkan karena ketidak jelasan
batasan antara pengertian nash dan perbedaan persepsi di kalangan sahabat,
seperti lafadz (القرء) dalam firman Allah Ta’ala (والمطلقة يتربصن
بأنفسهن ثلاثة قروء)
Umar dan ibnu Mas’ud mengartikan bahwa (القرء)
bermakna haid, sedangkan Zaid bin Tsabit mengartikannya dengan suci, dan tiap-tiap
pendapat memiliki argument yang menguatkannya masing-masing.
2. Munculnya dua persoalan yang merujuk pada
dua nash yang saling berlawanan.
Para fuqoha pun sepakat bahwa masalah seperti
ini harus diselesaikan dengan beberapa tahapan atau metode sebagai berikut
:
- Mencari benang merah antara kedua ayat
tersebut, bila tidak ditemukan maka menggunakan metode kedua.
- Metode At-Tarjih yaitu mengunggulkan satu
nash hukum dengan nash hukum lainnya karena ada dalil yang menguatkannya,
bila tidak ditemukan dalil yang menguatkannya maka dipakailah metode
ketiga.
- Metode Nasakh yaitu hukum nash yang
pertama dihapus oleh hukum nash kedua yang datang belakangan. Contohnya
masalah iddah wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, apakah dia
beriddah hamil atau beriddah kematian suaminya?. Dalam al-Quran disebutkan
:“…Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya..”. (QS. At-Thalaq : 4). Di ayat lain
disebutkan : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan
dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. (QS. Al-Baqarah : 234).
Dalam hal ini Ibnu Abbas mencari benang merah dari kedua nash di atas dan
beliau kemudian berpendapat bahwa iddahnya adalah masa iddah yang paling
lama dari dua masa iddah tersebut, sedangkan Ibnu Mas’ud hukum ayat
pertama menghapus hukum ayat kedua, maksudnya meskipun belum 40 bulan 10
hari jika sudah melahirkan maka berakhirlah masa iddahnya, hal ini
diperkuatnya dengan hadits nabi yang menerangkan bahwa nabi mengizinkan
Subai’ah al-Aslamiyah untuk menikah lagi setelah melahirkan anaknya
beberapa hari semenjak kematian suaminya.
3. Sebagian fuqoha’ memutuskan suatu peristiwa
berdasarkan pengetahuannya dari sunnah, sementara yang lain belum
mendapatkannya atau menganggapnya tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai
hadits shahih.
Contoh: Perbedaan pendapat antara Ali bin Abi
Thalib dengan Ibnu Mas’ud dalam masalah maskawin (mahar) wanita yang ditinggal
mati suaminya sebelum mengadaka hubungan suami istri. Hal itu juga disebabkan
karena pada zaman tersebut sunnah atau hadits-hadits Nabi belum dibukukan, maka
tingkat kuantitas hadits yang didapat dan dihafal oleh para sahabat juga
relatif beda antara satu dan yang lain, tergantung seberapa seringnya mereka
berinteraksi langsung dengan Rasulullah SAW semasa hidupnya, atau kepada para
sahabat periwayat hadits. Sehingga produk hukum yang mereka hasilkan mungkin
berbeda karena kekurangtahuan akan hadits-hadits Nabi yang lain, yang mungkin
menjelaskan atau mentafsiri hadits yang mereka hafal.
4. Perbedaan kaidah dan metode ijtihad dari
para fuqoha’.
Yang kemudian memunculkan beberapa perbedaan
penggunaan kaidah dan metode ini, dan muncullah beberapa perbedaan pendapat
dalam satu persoalan yang sama, yang sebenarnya hal ini akan mampu memperkaya
tsarwah fiqhiyyah. Contohnya perbedaan penentuan illat hukum. Ini terjadi
ketika seorang sahabat ingin mengetahui sebab suatu peristiwa hukum.
Contoh: Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa
nabi Muhammad SAW mempercepat langkah ketika tawaf dengan lari-lari kecil,
kemudian sebagian besar sahabat berkata: ”lari-lari kecil ketika tawaf itu
sunnah”. Ibnu Abbas berkata: ” tidak sunnah”. Langkah nabi dipercepat karena
orang musyrik menghina orang islam yang kelihatan loyo ketika berthawaf.
Ketegaran langkah itu ditunjukkan oleh Nabi SAW agar tidak dikatakan loyo.
5. Mungkin ini yang paling penting, yaitu bahwa
kebebasan dan kesungguhan para fuqoha dalam melakukan ijtihad terhadap berbagai
masalah yang mereka hadapi. Kebebasan dan kesungguhan itulah yang menjadi
sumber konseptualisasi dan redinamisasi fiqih periode ini.
D. CONTOH – CONTOH IJTIHAD SAHABAT DALAM
MENGHADAPI PROBLEMATIKA HUKUM ISLAM
1. Kekhalifahan Abu Bakar As – Shiddiq
- Penghimpunan Al-Quran
Setelah Abu Bakar diangkat menjadi khalifah,
banyak sekali terjadi pemberontakan serta penyelewengan akidah di beberapa
daerah kekuasaan islam, termasuk diantaranya adalah seorang Musailamah
al-Kadzab yang mengaku menjadi Nabi setelah Nabi Muhammad, kemudian Abu Bakar
pun memerintahkan untuk memerangi kelompok penyeleweng tersebut hingga akhirnya
setelah pertempuran yang sengit, kemenangan diraih pasukan Abu Bakar dengan
meninggalkan banyak syuhada’, termasuk di antaranya jumlah besar para penghafal
al-Quran.[6] Karena kekhawatiran akan hilangnya al-Quran
bersamaan dengan semakin berkurangnya para penghafal al-Quran, maka Umar bin
Khattab pun mengusulkan pengumpulan al-Quran dalam satu kumpulan (mushaf)
kepada Abu Bakar, tentu saja Abu Bakar menolak usulan umar tersebut, karena
sebagai sahabat yang selalu dekat dengan Nabi, yang selalu mematuhi dan
membenarkan segala perkataan dan perbuatan Nabi SAW, pantang bagi Abu Bakar
untuk melakukan hal-hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW, apalagi
hal-hal yang berkenaan dengan al-Quran selaku sumber hukum Primer Islam.
Atas kegigihan Umar dalam memberikan argument,
bahwa hal itu untuk menghindari punahnya ayat-ayat al-Quran yang disebabkan
oleh berkurangnya para penghafal al-Quran, dan hal itu akan menjadikan
kemaslahatan umat islam, maka Abu Bakar pun menyetujui usulan Umar tersebut.
Dia pun memerintahkan kepada sang penulis wahyu terbanyak, Zaid bin Tsabit
untuk mengumpulkan al-Quran dalam satu kumpulan atau dalam satu mushaf.
- Kekhalifahan Umar bin Khattab
a. Tentang Satu
Orang Yang Dibunuh Oleh Beberapa Orang
Pada masa kekhalifahan Umar bin al-Khattab,
Khalifah kedua setelah Abu Bakar, terjadi suatu peristiwa hukum berupa
pembunuhan massal, atau pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa orang sekaligus
terhadap satu orang, bagaimana hukumnya?. Ketika dihadapkan pada masalah
tersebut, Umar merasa bimbang, kemudian dia pun mendiskusikannya dengan Ali bin
Abi Thalib, maka Ali bertanya: “Apa pendapatmu jika ada sekelompok orang yang
bersama-sama mencuri Unta, apakah engkau akan memotong tangan mereka semua?”,
Umar menjawab: “Ya”. Ali pun berkata: ”Begitulah . . . . ,”. Kemudian atas
dasar pola pikir atau analogi terebut, maka Umar menetapkan hukum bagi mereka,
“Andaikata penduduk Shan’a itu semua bersama-sama membunuh pria itu, sungguh
akan aku bunuh mereka semua”.[7]
b. Tentang Pencuri Pada Masa Paceklik
Khalifah umar tidak menghukum potong tangan
seorang pencuri yang mencuri makanan di musim paceklik, karena mempertimbangkan
kemaslahatan umat, disamping bahwa memelihara nafs (jiwa) itu lebih didahulukan
daripada memelihara mal (harta). Jadi, perlindungan terhadap nyawa manusia saat
itu lebih dipentingakan daripada harta.
c. Bagian Zakat Orang Mu’allaf
Terhadap orang mu’allaf, di masa
kekhalifahannya Umar tidak memberi bagian zakat kepada mereka, pada zaman Nabi
Muhammad mu’allaf adalah mereka yang diambil simpatinya agar masuk islam dengan
memberikan zakat kepada mereka. Terhadap mu’allaf umar berkata: ”Sesungguhnya
Allah telah menguatkan islam dan tidak membutuhkan kamu. Jika kamu bertaubat,
silahkan, tetapi jika tidak maka antara kamu dan kami adalah pedang.” Di sini
umar melihat bahwa yang paling maslahat pada saat perluasan islam saat itu
adalah dengan tidak memberikan zakat atau harta kepada orang muallaf karena pada
saat itu orang-orang islam sudah sangat banyak sekali sehingga pada saat itu
Umar memang benar-benar ingin mengetahui apakah mereka mau masuk islam karena
kesadaran sendiri atau karena iming-iming zakat yang diberikan islam.
3. Kekhalifahan Utsman bin Affan
a. Mushaf Utsmani
Pembukuan atau penulisan al-Quran dengan satu
macam versi qiroah dan membuang mushaf versi lain merupakan salah satu bentuk
ijtihad Usman dalam menghadapi keanekaragaman bacaan al-Quran yang mengarah
kepada keragaman pemahaman terhadap islam, selanjutnya, pertentangan di
kalangan umat islam. Dan ijtihad itu pun disetujui oleh para sahabatnya.
Seperti diketahui bahwa al-Quran diturunkan atas 7 macam huruf (qiroah),
artinya dengan dialek dan redaksi yang bermacam-macam, sehingga terbuka peluang
berbedanya hafalan seorang sahabat dengan sahabat yang lain.
Misalnya, dalam surah al-Jumu’ah disebut (فاسعوا إلى
ذكرالله),
ada sahabat lain yang membacanya (فامضوا إلى ذكر الله). Perbedaan redaksi di sini tidak mengubah makna, namun demi
keutuhan, keseragaman al-Quran dilaksanakan oleh Khalifah Utsman bin
Affan.
b. Tentang Unta Yang Berkeliaran
Masalah unta yang berkeliaran dan tidak
diketahui pemiliknya, apakah boleh “diamankan” seperti barang temuan lainnya
atau tidak. Ikhtilaf terjadi karena ada hadits Nabi yang menyebutkan bahwa unta
– unta itu harus dibiarkan hingga ditemukan oleh pemiliknya sendiri. Ketika
kondisi pemerintahan mulai mengalami goncangan keamanan, Utsman berpendapat
bahwa unta-unta itu sebaiknya diamankan. ”Rasulullah melarang untuk
mengamankannya, karena tidak mungkin ada yang mencurinya. Namaun Sekarang,
dalam suasan melemahnya ghirah keagamaan ini unta-unta harus diamankan untuk
kemaslahatan. Kalau tidak ia akan dicuri orang.”
Sikap Utsman ini bertentangan dengan kebijaksanaan
Umar yang mengamalkan hadits Nabi tadi. Di sini Utsman tampaknya menerapkan
illat. Umar melaksanakan nash dari hadits Nabi karena adanya illat, yaitu
“suasana aman”, ketika illat itu tidak ada, maka nash tidak cukup syaratnya
untuk diterapkan. Jika tetap diamalkan maka pengamalan nash itu tidak akan
mewujudkan kemaslahatan yang merupakan tujuan utama nash tadi.
4. Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
a. Tentang Wanita Yang Ditinggal Mati Suaminya
Para fuqoha sahabat berbeda pendapat tentang
bagaimana hukum seorang wanita yang ditinggal mati suaminya sebelum melakukan
hubungan suami-istri, padahal belum juga ditentukan kadar mas kawin atau
maharnya. Menurut ibnu Mas’ud, wanita itu berhak mengambil maskawin seperti
biasa dari harta peninggalan suaminya seperti terjadi pada Barwa’ binti Wasyik
al-Aslamiyah di zaman Rasulullah.
Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa, ketentuan
seperti itu merugikan satu pihak. Karenanya, menurut Ali, wanita itu tidak
berhak mengambil maskawin dari harta peninggalan suaminya sebelum terjadi
hubungan suami-istri. “Kami tidak akan meninggalkan al-Quran hanya karena
pernyataan seorang saja”, kata Ali. Dari sini nampak bahwa Ali telah sampai
pada penggunaan qiyas, sebab dalam al-Quran tidak ada ketentuan tentang masalah
ini, yang ada hanyalah wanita yang ditalak oleh suaminya sebelum melakukan
hubungan suami-istri. Dan rupanya Ali mengqiyaskan wanita yang ditinggal mati
oleh suaminya sebelum melakukan hubungan tadi dengan wanita yang ditalak dalam
keadaan yang sama.
E. RUANG LINGKUP IJTIHAD PARA SAHABAT
Yang bisa kita lihat dari berbagai ijtihad
sahabat – di antaranya seperti dicontohkan di atas – adalah adanya ruang
lingkup ijtihad yang cukup luas. Para sahabat tidak hanya menyikapi hukum-hukum
islam secara ideal yang terlepas dari konteks sosial, tetapi dimensi sosial itu
telah menyadarkan mereka untuk mencari jawaban-jawaban ideal islam terhadap
berbagai persoalan yang berkembang. Interpretasi terhadap nash (seoerti
penggunaan teori ‘illah yang dilakukan Utsman), adalah contoh nyata betapa para
sahabat secara sungguh-sungguh berusaha memahami maqashid tasyri’
(tujuan-tujuan syariat) dari suatu penerapan hukum.
Sahabat Utsman misalnya, berkesimpulan bahwa
dibiarkannya unta-unta berkeliaran pada masa Nabi Saw karena kondisi saat itu
aman. Jadi, kerangka penerapan hukum ini dengan sendirinya menuntut adanya
situasi aman sehingga memungkinkan unta-unta itu menjumpai pemiliknya. Jika
tidak, maka nash hadits itu tidak tepat untuk diterapkan, sebab akan memberi
peluang terkorbankannya kemaslahatan umum. Kerangka teori ini kemudian
dikembangkan dan dirumuskan oleh para ahli metodologi islam (ushuliyyin) dalam
kaidah ushul fiqh : “al-hukmu yadurru ma’al ‘illah wujudan wa ‘adaman” yang
artinya: hukum itu berputar atau berhubungan dengan munculnya illah atau tidak.
Bahkan pengamatan yang lebih mendalam akan
membuktikan bahwa rumusan para fuqaha dan mujtahidin pada tahun-tahun
pertengahan mengacu pada kerangka dan ruang ijtihad sahabat. Qiyas, maslahah,
mursalah, istihsan dan kaidah-kaidah fiqhiyah lainnya mendapat justifikasi dari
para sahabat. Hal ini semakin menguatkan kesimpulan bahwa fiqih sejak
periode-periode awal memberikan ruang gerak dinamis bagi perkembangan,
pembaharuan dan kehidupan. Dengan kata lain, tradisi ikhtilaf para sahabat
mengacu pada kerangka acuan istidlal, suatu proses ijtihad yang memperkaya
tsarwah fiqhiyah dalam sejarah perkembangannya.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sejarah hukum islam pada masa Khulafaur
Rasyidin secara periodik terbagi menjadi 4, yaitu periode Abu Bakar, Periode
Umar bin Khattab, periode Utsman bin Affan dan periode Ali bn Abu Thalib. Yang
perlu digaris bawahi dalam pemahaman mengenai tasyri’ pada masa ini adalah
bahwa meskipun disebut periode Khulafa’ur Rasyidin, namun dalam praktisnya para
mujtahid hukum bukan hanya para Amirul Mukminin yang 4 saja, akan tetapi
seluruh kibarus sahabat yang hidup pada masa ini juga sering berijtihad
terhadap semua permasalahan yang dirasa aktual dan dibutuhkan di antara umat islam.
Dalam hal permasalahan hukum itu telah ada
hukumnya dalam nash al-Quran, maka digunakanlah hukum yang didapat dari nash
tersebut. Dan bila hukum permasalahan itu tidak ditemukan dalam al-Quran maka
mereka mencari hukumnya di dalam Hadits, namun karena hadits masih belum
dibukukan, maka sering terjadi perbedaan pendapat mengenai satu persoalan yang
sama tetapi menghasilkan produk hukum yang berbeda, tergantung kapasitas hadits
yang dimiliki masing-masing sahabat. Untuk menghadapai masalah ini, para sahabat
seringkali berdiskusi untuk saling bertukar wawasan tentang hadits yang mereka
hafal. Dan bila mereka tidak dapat menemukan hukumnya di dalam al-Quran dan
Hadits maka mereka berijtiad dengan menggunakan Ro’yu mereka sendir-sendiri,
maka kemudian terciptalah metode Qiyas, penggalihan illat hukum, ijma’, hingga
akhirnya pada tahap penelusuran substansi syari’at dengan menggunakan metode
maslahah, yaitu mencari hal yang maslahat bagi manusia secara umum.
Adapun sebab ikhtilaf pendapat para sahabat
saat itu adalah perbedaan persepsi tentang suatu nash al-Quran atau Hadits
secara tekstual, yang biasanya memerlukan kajian kebahasaan yang tinggi. Di
samping itu kadar jumlah hadits yang berbeda yang diterima kesemuanya
tergantung pada seberapa dekat dan sering seorang sahabat berinteraksi dengan
Nabi SAW.
Beberapa contoh hasil ijtihad para sahabat
dalam penentuan hukum islam terhadap suatu persoalan. Contohnya pembukuan
al-Quran dalam satu mushaf oleh Abu bakar karena kekhawatirannya akan hilangnya
al-Quran dengan hilangnya para syuhada’ yang hafal al-Quran. Contoh lain
penulisan al-Quran dalam satu huruf atau qiro’ah untuk menyeragamkan bacaan
al-Quran secara menyeluruh bagi umat islam yang pada saat itu semakin luas
wilayahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-Ilmu
Al-Quran. Diterjemahkan oleh Mudzakir AS. Cet. Kesebelas. 2007. Jakarta: PT.
Pustaka Litera AntarNusa.
Al-Usairy, Ahmad. Sejarah Islam (Sejak Zaman
Nabi Adam Hingga Abad XX). Cet. Keenam. 2008. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Ham, Musahadi. Evolusi Konsep Sunnah:
Implikasinya pada Perkembangan hukum islam. 2000. Semarang: CV. Aneka Ilmu.
Hashem, O. SAQIFAH: Awal Perselisihan Umat.
Cet. Kedua. 1989. Jakarta: Yapi.
Hudhori, Muhammad. Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami.
Tanpa Tahun. Jeddah: Al-Haromain.
Khalil, Rasyad Hasan. Tarikh Tasyri’: Sejarah
Legislasi hukum Islam. 2009. Jakarta: Amzah.
Khallaf, Abdul Wahab. Ikhtisar Sejarah Hukum
Islam. 1985. Yogyakarta: CV. Bayu Grafika Offset.
Sirry, Mun’im A. SEJARAH FIQIH ISLAM: Sebuah
Pengantar. 1995. Surabaya: Risalah Gusti.
Zuhri, Muhammad. Hukum islam dalam lintasan
sejarah. 1996. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
[1]. Kibarus Sahabat adalah sahabat yang
bertemu/semasa dengan Nabi Muhammad dan masuk islam serta beriman pada Nabi.
Sedangkan sahabat sighar adalah sahabat yang hidup atau pernah bertemu dengan
Nabi SAW semasa kecilnya dan kemudian masuk islam.
[2]. Lihat Abdul Wahab Khallaf. Ikhtisar Sejarah
Hukum Islam. 1985. Yogyakarta: CV. Bayu Grafika Offset. Hal. 21.
[3]. Riwayat tersebut dinilai dho’if oleh beberapa
Ulama, karena kemungkinan diriwayatkan oleh orang pendukung syi’ah yang juga
ingin menjelekkan pribadi umar bin khattab.
[4]. Lihat O. Hashem. SAQIFAH: Awal Perselisihan
Umat. Cet. Kedua. 1989. Jakarta: Yapi. Hal. 240-241.
[5]. Muhammad Hudhori. Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami.
Tanpa Tahun. Jeddah: Al-Haromain. Hal. 114.
[6]. Lihat Ahmad Al-Usairy. SEJARAH ISLAM (Sejak
Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX). Cet. Keenam. 2008. Jakarta: Akbar Media Eka
Sarana. Hal. 188.
[7]. Lihat Muhammad Zuhri. Hukum islam dalam
lintasan sejarah. 1996. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Hal. 40.
Semoga Bermanfaat
BalasHapus