ٍSEJARAH HUKUM ISLAM MASA KHULAFA'URRASYIDIN DAN PERKEMBANGANYA





BAB I

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah swt. yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, serta hidayahNya kepada kami, sehingga ana dapat menuangkan tinta untuk mengukir ilmu yang membahas tentang Sejarah Hukum Islam Pada Masa Sahabat Rasulullah SAW, yang sangat di butuhkan sebagai penambah wawasan, semoga persembahan kami dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya.

Sholawat serta salam marilah selalu kita hadiahkan keharibaan Rosulullah Muhammad SAW sebagai hambah Alloh yang paling sempurna, sebagai pendakwah syari’at Islam, sebagai Uswatun Hasanah umat Islam, Allohumma sholli ‘alaa sayyidina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shohbihi ajma’in..

Tidak lupa kami sampaikan banyak terima kasih kepada  seluruh pembaca Makalah ini khususnya pada Blog ini ( al-rasyied.blogspot.co.id ). Terima kasih juga atas semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penulisan makalah ini dengan ucapan, Jazaakumulloh ahsanal jaza’.. 

Akhir kata, saya sangat mengharap kritik dan saran dari pembaca sehingga makalah bisa lebih sempurna dan bermanfaat.











BAB II

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Periode kedua pada masa perkembangan fiqih atau hukum islam bermula sejak wafatnya Nabi Muhammad Saw pada tahun 11 H dan berakhir ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai khalifah pada tahun 41 H. Pada periode – periode ini hiduplah sahabat – sahabat Nabi terkemuka yang mengibarkan bendera dakwah islam setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw.

Masa Khulafaur Rasyidin atau masa Kibarus Sahabat, bisa dibilang sebagai masa yang penuh dengan kekuatan sekaligus perpecahan.[1] Disebut sebagai masa kekuatan islam, karena pada masa ini, jiwa dan akidah umat islam masih melekat erat pada diri masing – masing identitas masyarakat islam pada masa itu sebagai hasil usaha keras Nabi dalam menyebarkan agama islam dan mengajarkan ketauhidan pada diri mereka, sehingga akidah umat islam masa ini masih kuat. Namun, masa ini disebut juga masa permulaan perpecahan umat islam, karena setelah Nabi Muhammad SAW meninggal dunia, para sahabat mulai berselisih mengenai siapakah yang akan menjadi pemimpin umat islam berikutnya, yang bermula dari peristiwa Tsaqifah bani Sa’idah yang berjarak beberapa kilometer dari kediaman Nabi di Madinah saat masa wafatnya. Hal ini muncul karena Nabi Muhammad, sebagai panutan dan petunjuk bagi mereka tidak mewasiatkan atau menunjuk seseorang sebagai penggantinya kelak. Beberapa pendapat mengatakan bahwa hal ini dilakukan agar para sahabat dapat berijtihad sesuai dengan perkembangan zaman masing – masing sahabat itu.

Hal ini sebagaimana di hadits Rasulullah SAW: (أنتم أعلم بأمور دنياكم), yang artinya “Kalian – kalian semua lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian”. Dalam berbagai hal, sahabat adalah orang yang paling dekat dengan Nabi, terutama empat sahabat yang terkenal dengan sebutan Khulafa’ur Rasyidin. Dalam hadits disebutkan juga (أصحابي كالنجم بأيهم اقتديتم اهتديتم), yang artinya “sahabat – sahabatku ibarat bintang – bintang, siapa saja yang kalian ikuti maka kalian akan mendapatkan petunjuk (hidayah)”. Berbeda dengan Nabi yang ma’shum tentu saja para sahabat sebagai manusia biasa juga pernah membuat kesalahan, dan dalam menetapkan hukumnya juga pasti akan sangat berhubungan dengan dasar pemikiran, sosio – kultural di samping ilmu – ilmu agama yang dimiliki mereka. Oleh karena itu sering terjadi perbedaan tasyri’ dalam suatu permasalahan terutama tanpa “qoth’iyud dilalah.” 











BAB III

PEMBAHASAN

A. KONDISI HUKUM ISLAM PADA MASA KHULAFA’UR RASYIDIN DAN PERKEMBANGANNYA

Periode Khulafa’ur Rasyidin ini dimulai sejak wafatnya Rasulullah SAW pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 H atau 632 M, dan diakhiri pada akhir abad pertama Hijriyah (11 – 41 H atau 632 – 661 M). Menurut para ahli sejarah islam, periode ini adalah periode penafsiran undang – undang dan terbukanya pintu – pintu Istinbath Hukum dalam kejadian – kejadian yang tidak ada nash hukumnya. Dari pemuka – pemuka sahabat timbullah banyak pendapat dalam menafsirkan nash – nash hukum dalam al – Quran dan al – Hadits yang dapat dipandang sebagai pandangan yuridis bagi penafsiran – penafsiran nash serta sebagai penjelasannya.[2]
Setelah wafatnya Nabi, umat islam menghadapi banyak masalah. Hal ini dikarenakan semakin meluasnya pemerintahan islam hingga melampaui semenanjung Arabiyah, itu juga tentunya membawa dampak yang begitu besar bagi perkembangan pemikiran umat islam pada masa itu. Berbagai macam permasalahan yang timbul dikarenakan vakumnya pemerintahan dan karena perluasan wilayah islam semakin memaksa para sahabat untuk benar – benar berijtihad dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Secara umum permasalahan – permasalahan itu dapat diklasifikasikan menjadi beberapa aspek, yaitu:

1. Aspek Politik

a. Kekhalifahan Abu Bakar (11 – 13 H atau 632 – 634 M)

Masalah yang paling urgen di kalangan umat islam pasca wafatnya Nabi SAW adalah masalah politik, terutama masalah imamah atau kekhalifahan. Dalam masa kevakuman pemerintahan ini, masyarakat islam membutuhkan sosok pemimpin baru, karena tanpa kehadiran seorang pemimpin baru, wilayah kekuasaan islam yang telah membentang sampai wilayah sebagian besar jazirah Arab, akan dengan mudah hancur atau terpecah – belah kembali, di samping kekhawatiran adanya serangan dari bangsa – bangsa lain, seperti dari bangsa Romawi dan Persia, sehingga stabilitas keamanan umat islam saat itu terancam. Namun yang menjadi persoalan adalah bahwa Nabi Muhammad di akhir hayatnya tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan meneruskan perjuangannya menjadi khalifah dan menyebarkan agama islam ke seluruh Dunia. Hal ini kemudian menjadi tanda tanya sekaligus tugas terbesar bagi umat islam saat itu terutama para Sahabat Nabi Saw, Meskipun ada satu riwayat bahwa Nabi Saw telah menulis sebuah wasiat untuk menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pertama, namun kemudian dicegah oleh Umar bin Khattab.[3]

Sampai akhirnya muncullah suatu peristiwa bersejarah yang terkenal dengan sebutan “Tsaqifah”. Peristiwa ini terjadi di Madinah, tepatnya di daerah Tsaqifah dengan penduduk sekitarnya adalah mayoritas keturunan suku ‘Aus dan suku Khazraj yang secara historis telah menjadi musuh bebuyutan semenjak pra-islam. Kedua suku yang terkenal dengan sebutan kaum Anshor, merasa paling berhak untuk menyatakan dan mengangkat diri mereka sebagai seorang khalifah sebagai penerus dan pengganti Nabi SAW, karena atas jasa merekalah umat islam bisa terus Berjaya hingga saat itu. Meskipun sebenarnya kedatangan Nabi dan Para Muhajirin Lainnya ke kota yang dulu terkenal dengan nama Yatsrib itu adalah atas permintaan dari kedua kelompok sosial itu, dengan tujuan agar perseteruan di antara kedua suku itu berhenti, karena kalau peperangan antar kedua suku itu terjadi terus – menerus maka kedua suku itu akan punah. Dan benar saja Nabi Muhammad dengan kekuatan Islam dan akhlaknya yang luhur mampu mendamaikan kedua suku itu selama 13 tahun lebih.

Beralih ke masalah Tsaqifah, pada peristiwa ini, kedua suku itu serasa dikembalikan kembali ke adat jahiliyah mereka, untuk saling bertarung dan bermusuhan kembali walaupun dalam diri mereka telah tertanam nilai – nilai islam yang menjunjung tinggi perdamaian dan persaudaraan. Bagi mereka, bila Nabi Muhammad telah wafat berarti tidak ada lagi seorang pendamai di antara mereka, sehingga hal itu membuat mereka bermusuhan kembali. Pada saat itu datanglah para sahabat dekat Nabi Muhammad SAW, yang dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar. Umar dan sahabat lainnya kemudian langsung memproklamirkan Abu Bakar dari golongan Muhajirin sebagai Pengganti Nabi sebagai Khalifah Umat Islam. tentu saja hal ini tidak di setujui oleh kaum anshor, yaitu kedua suku ‘Aus dan Khazraj, karena menurut mereka, mereka tidak lebih baik dari golongan anshor. Namun, meskipun demikian, ternyata pada akhirnya kedua suku itu - dikatakan - menyetujui Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Nabi SAW. Namun sebenarnya tindakan mereka yang turut membai’at Abu Bakar sebagai khalifah pertama tidak lebih hanyalah sebuah perfect disguise (Pura – pura yang sempurna). 

Fakta sejarah telah membuktikan bahwa dipilihnya Abu Bakar saat itu sebagai seorang Khalifah dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain: 

  • Dari segi Nasab, Abu Bakar yang merupakan keturunan dari bani Taim, keturunan suku Quraisy, nama lengkapnya adalah Abdullah bin Utsman bin Amir bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’adalah bin Taim. Bani Taim adalah satu dari dua belas cabang suku Quraisy. Sekelompok suku minoritas yang tidak memihak kubu manapun itu ternyata telah dianggap sebagai mediator bagi suku ‘Aus dan Khazraj yang membutuhkan seorang pemimpin yang tidak berasal dari kelompok mereka. Apakah pemimpin itu bernama Abu Bakar atau Abu Jahal atau siapapun, bagi mereka itu bukanlah hal yang penting, karena saat itu mereka sedang mempertaruhkan suatu hal yang sangat besar, yaitu kelangsungan hidup kedua suku mereka. Jadi otomatis pada saat Umar membai’at Abu Bakar, maka Basyir bin Sa’ad dari bani Khazraj ikut membai’at Abu Bakar, yang kemudian langsung diikuti oleh saingannya, yakni Usaid bin Hudhair dari bani ‘Aus.[4] Kemudian para pemuka – pemuka sahabat yang lain termasuk Ali bin Abi Thalib juga membai’at Abu Bakar secara keseluruhan dan menunjukkan adanya sistem Demokrasi pada masa itu. Sebenarnya dalam diri Abu Bakar tidak ada sama sekali ambisi politik untuk memimpin umat islam, namun karena mempertimbangkan kemaslahatan umum, maka Abu Bakar bersedia dilantik menjadi Khalifah. 
  • Hal lain yang mendukung pengangkatan Abu Bakar Sebagai Khalifah saat itu adalah bahwa saat itu beliaulah yang paling sepuh di antara para sahabat terdekat. Pada masa sebelum pembai’atannya sebagai khalifah, Abu Bakar juga berpidato kepada Kaum Anshor yang berbunyi : “Sesungguhnya orang – orang Arab tidak mengakui kekuasaan ini kecuali untuk orang – orang Quraisy”. Setelah 2 tahun memerintah (11 – 13 H) akhirnya Abu Bakar menghembuskan Nafasnya yang terakhir pada bulan Jumadil Akhir 13 H atau 634 M, setelah sebelumnya mewasiatkan Umar sebagai Khalifah Penerusnya.
b. Kekhalifahan Umar bin Khattab (13 – 23 H atau 634 – 643 M)

Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza dari bani Adi bin Ka’ab. Bani Ka’ab juga termasuk keturunan Quraisy. Dalam Islam, sebenarnya masalah – masalah kekhalifahan yang termasuk masalah keduniawian harus melalui ijma’ atau musyawarah. Sebagaimana firman Allah (وشاورهم في الأمر). Namun agaknya dalam pengangkatan Umar bin Khattab ini terjadi sedikit permainan Politik di tangan kaum Quroisy. Sebuah makalah yang ditulis oleh Henri Lammens yang berjudul Kelompok Politik Tiga Orang (triumvirat) Abu Bakar, Umar bin Khattab dan abu Ubaidah, yang menceritakan keakraban mereka bertiga sejak awal masuk islam, dalam peperangan, hingga kepergiannya ke pertemuaan saqifah tanpa memberitahu sahabat lainnya termasuk Ali bin Abi Thalib, untuk mengajukan Abu Bakar sebagai Khalifah Pertama, ternyata tidak berhenti sampai di sini saja, persekongkolan politik mereka berlanjut hingga saat pemberian wasiat Abu Bakar kepada Umar di tengah – tengah sahabat yang lain sebagai khalifah penggantinya. 

Meskipun Abu Bakar beralasan agar tidak terjadi konflik politik lagi seperti dahulu, namun sebagai manusia berjiwa Arab yang menjunjung kesukuan Quraisy, tentu saja dia tidak ingin masyarakat islam dipimpin oleh selain Suku Quraisy, sehingga dia kemudian berinisiatif untuk mewariskan kekhalifahannya kepada Umar bin Khattab. Diriwayatkan pula bahwa pada masa – masa menjelang kematiannya, Umar bin Khattab berencana ingin mewasiatkan kekhalifahannya pada Abu Ubaidah, kalau saja saat itu dia masih hidup dan Umar tidak megutusnya sebagai panglima pasukan untuk berperang dengan pasukan Romawi yang kemudian berakhir dengan kematian Abu Ubaidah.

Berbeda dengan Abu Bakar yang tidak terlalu suka dengan Politik, Umara’ adalah sosok sahabat yang memiliki naluri negarawan atau jiwa nasionalis yang besar, arif akan liku – liku kekuasaan dan lebih paham tentang bagaimana caranya menangani penduduk Arab yang berjiwa pengembala yang keras. Umar bukanlah prajurit yang hebat di medan peperangan, bila dibandingkan dengan Ali bin Abi Thalib atau Hamzah, namun dalam mengatasi kemelut politik ini, dia termasuk pemberani yang sedia juga menerjang bahaya. Ia malah berani menghapus kalimat adzan (حيا على خير العمل) yang artinya : “marilah melakukan amal yang baik”, konon untuk mengarahkan semangat perang jihad dan agar lebih memompa semangat kaum muslimin yang disebarkan ke berbagai penjuru, ia juga berani menambahkan kalimat (الصلاة خير من النوم) yang artinya : ”Shalat itu lebih baik daripada tidur”, dia juga orang pertama yang menjuluki didrinya sebagai Amiru al – mukminin, orang pertama yang membuat Penanggalan Islam atau Kalender Hijriyah yang dimulai awal Hijrah Nabi Muhammad SAW, memelopori perluasan masjidil haram, membentuk kantor pemerintahan, mata uang dan masih banyak lagi.

Kekhalifahannya berakhir setelah kematian syahidnya akibat sebuah konspirasi politik yang dirancang oleh musuh – musuh islam, terutama kalangan Yahudi dan Persia, yang sangat membencinya karena pada kekhalifahannya, Kekaisaran Persia telah dihilangkan dari muka Bumi. Beliau Mati syahid terkena tikaman belati beracun saat sedang melakukan sholat subuh, oleh seorang mantan budak Persia, Abu Lu’luah al – Majusi. Sebelum naza’ dia sempat ingin memilih Abu Ubaidah sebagai penerusnya, karena hubungan dekatnya dengan abu ubaidah dari semenjak awal masuk islam, pembaia’atan Abu Bakar dan pengangkatannya. Namun karena sahabat terdekat seperjuangannya telah meninggal dunia, maka dia pun mewasiatkan tampuk kekhalifahannya pada 6 orang sahabat yang termasuk dalam orang – orang yang akan masuk surga berdasarkan hadits Rasulullah, yaitu : Utsman bin Affan, Ali bin abi Thalib, Thalhah, Zubair, Abdur Rahman bin Auf dan Sa’ad bin Abi Waqosh. Kepada 6 orang ini umar berwasiat untuk memilih salah satu di antara mereka sebagai khalifah penerusnya. Umar bin Khattab Wafat pada bulan Dzulhijjah 23 H atau 643 M dan memerintah selama 10 tahun lamanya. 

c. Kekhalifahan Utsman bin Affan (23 – 35 H atau 644 – 656 M)

Dia bernama Utsman bin Affan bin Abi ’Ash bin Umayyah bin Abdu Syams, berasal dari bani Umayyah. Setelah kematian Umar, para sahabat enam yang ditunjuknya ternyata sama – sama tidak berhasrat untuk menjadi khalifah, satu persatu di antara mereka mengundurkan diri hingga akhirnya hanya tinggal Utsman dan Ali, kemudian mereka pun mengadakan voting (pengambilan suara) di mana mereka bertanya pada penduduk muslim setempat, manakah yang mereka pilih sebagai khalifah, Utsman atau Ali. Setelah dilakukan pengambilan suara oleh keempat sahabat yang mengundurkan diri tersebut yang ternyata langsung mengajukan diri mereka menjadi dewan pemilihan umum, akhirnya mayoritas umat islam menginginkan Utsman bin Affan sebagai Khalifah karena usianya yang lebih tua dibandingkan dari Ali, tentunya akan lebih menjadi pemimpin yang bijaksana.

Dia dibai’at sebagai khalifah saat berusia 70 tahun. Pada masa pemerintahannya jumlah kekayaan kaum muslimin sangat banyak sekali dan dia melihat bahwa banyak gubernur – gubernur yang kurang cakap memerintah dijadikan gubernur, sehingga yang terjadi adalah korupsi dan penggelapan uang Negara, hingga akhirnya dia memutuskan untuk mengganti gubernur – gubernur yang tidak kompetitif tersebut dengan gubernur – gubernur baru, yang tentu saja berasal dari keturunan bani Umayyah. Permainan politik ini tentu saja diprotes oleh mantan gubernur – gubernur di berbagai daerah tersebut, hal ini dimanfaatkan oleh seorang yahudi, Abdullah bin Saba’ untuk menyebarkan fitnah di kalangan umat islam Mesir, Kufah dan Bashrah, yang pada prinsipnya bahwa Utsman telah merebut hak Ali bin Abi Thalib sebagai seorang khalifah, maka pasukan pemberontak dari Mesir, Kuffah dan Bashrah secara bersamaan datang bersama – sama menyerbu Madinah untuk mendebat Khalifah, namun Ali yang mengetahui hal ini segera menenagkan mereka dan menjelaskan duduk persoalannya, sehingga mereka sadar dan kemudian kembali ke masing – masing daerah. Namun lagi-lagi Abdullah bin Saba’ membuat surat fitnah atas nama khalifah, Ali dan Aisyah yang di dalamnya berisi tulisan bahwa khalifah akan mengundurkan diri dan Ali akan jadi Khalifah, barangsiapa yang tidak setuju, maka dia akan dibunuh. Maka mereka pun kembali ke Madinah dan mengepung kediaman khalifah, hal ini dimanfaatkan sangat baik oleh Abdullah bin saba’ yang kemudian mengisukan kedatangan pasukan pembela khalifah dari berbagai daerah, para pemberontak ini pun khawatir hingga akhirnya mereka mendesak masuk ke rumah khalifah Utsman dan kemudian membunuhnya pada saat dia sedang membaca al – Quran mushaf Utsmaninya. 

Beberapa riwayat menyebutkan bahwa yang membunuh Utsman adalah al – Ghafiqi. Khalifah Utsman wafat pada bulam Dzulhijjah tahun 35 H atau 656 M, usia kekuasaannya adalah 12 tahun. Salah satu kebijakan Utsman selama memerintah adalah penyatuan bacaan al – Quran dalam satu mushaf setelah khawatir terjadinya perbedaan cara baca dalam qiroah sab’ah, kemudian menamainya dengan Rasm Utsmani dan membakar al – Quran yang lainnya untuk memelihara persamaan bacaan di antara kaum muslimin yang pada saat itu sudah sangat luas sekali kekuasaannya.

d. Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (35 – 40 H atau 656 – 661 M)

Namanya Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib, sepupu Rasulullah, keturunan Quraisy. Dia dibaiat menjadi khalifah bukan atas kemauan sendiri, namun karena kemauan para sahabat lain karena kekhawatiran mereka mengenai konflik yang sedang terjadi di kalangan umat islam. Ali bukanlah orang yang pandai dalam hal politik, dia lebih dikenal sebagai sosok “pintu ilmu” dan juga seorang pemberani dan tangkas sebagai prajurit dalam medan perang, banyak orang yang terbunuh di tangannya, termasuk paman, kakek dan saudara Mu’awiyah yang ketiganya meninggal akibat pedang Ali.

Namun tanpa sadar hal itu malah membuat Ali seolah – olah sedang menumbuhkan musuh – musuh di sekelilingnya, seperti Mu’awiyah yang saat itu sangat membencinya. Ali terbunuh oleh seorang Khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam pada saat akan melaksanakan shalat subuh. Peristiwa ini dipicu oleh adanya peristiwa pemberontakan sampai perang jamal antara Ali dan Aisyah serta Mu’awiyah, yang dikonspirasi oleh Mu’awiyah sebagai usaha balas dendamnya atas darah keluarganya yang tewas di tangan Ali bin Abi Thalib. Peristiwa pembunuhan ini terjadi pada bulan Ramadhan tahun 40 H atau 661 M. Dengan meninggalnya Ali bin Abu Thalib berakhirlah periode khulafaur Rasyidin yang kenudian dilanjutkan oleh periode Bani Umayyah.

Masalah – masalah yang diklasifikasikan, pada aspek yang kedua adalah sebagai berikut :

2. Aspek Fiqih

Semakin luasnya wilayah islam, maka perkembangan ijtihad para sahabat pun semakin besar, hal ini disebabkan munculnya masalah – masalah baru terkait dengan budaya bangsa era itu sendiri, sebagaimana yang kita ketahui daerah Makkah mempunyai keberbedaan budaya dengan daerah Mesir. Namun justru hal inilah yang kemudian semakin memperkaya Tsarwah Fiqhiyyah umat islam pada zaman tersebut. Fiqih atau penggalihan hukum islam pada periode Khulafa’ur Rasyidin ini terasa sangat hidup dan semarak. Beberapa ikhtilaf mulai muncul, meskipun lebih kecil dibanding periode berikutnya, seiring dengan perkembangan fiqih itu sendiri.

Selain periwayatan hadits yang sangat ketat, pada periode ini ijtihad seringkali dilakukan secara jama’i sehingga ruang ijtihad yang begitu luas itu jarang menimbulkan ikhtilaf. Pada periode ini fatwa – fatwa dan masa’il fiqih belum ditulis seperti juga sunnah. Kendati demikian, kita mulai dapat mengklasifikasikan kaidah – kaidah ushuliyah dan metode ijtihad yang digunakan oleh fuqaha’ sahabat dalam melakukan ijtihad. Dalam banyak hal, fatwa-fatwa dan masa’il fiqhiyah itu memang masih bercampur dengan dalil – dalil dan kaidah – kaidah Istidlal.

3. Aspek Akidah

Aspek akidah pada masa setelah wafatnya Rasul menjadi hal yang sangat menggelisahkan umat islam. berawal dari berita wafatnya Nabi Muhammad yang tersebar di kalangan para sahabat, membuat mereka merasa kehilangan yang sangat besar karena secara historis Nabi Muhammad – lah yang mampu mengangkat mereka dari keterpurukan dan kesesatan serta kekufuran menuju ketauhidan dan agama islam yang rohmatan lil alamin itu. Bagi mereka Nabi adalah sesosok agung yang senantiasa memberikan cahaya petunjuk dan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat islam zaman itu. Sehingga ketika mendengar Nabi yang begitu mereka cintai itu, yang telah memimpin dan menjadi petunjuk bagi mereka selama 38 tahun (25 – 63 tahun), hati dan iman mereka mulai gelisah.

Hal ini juga yang dialami sahabat Umar ketika mendengar Nabi wafat, dia langsung berkata : ’’barang siapa yang berkata bahwa nabi Muhammad telah wafat maka akan kutebas lehernya”. Namun akhirnya hati Umar pun luluh manakala mendengar pidato abu Bakar : “Barang siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah Hidup, tetapi barangsiapa yang menyembah Muhammad sesungguhnya Muhammad telah wafat”. Tidak hanya sampai di sini, persoalan akidah menjadi sangat berat manakala ada beberapa oknum islam yang memanfaatkan kegelisahan iman dan akidah umat islam saat itu dengan memanfaatkannya untuk menyampaikan dan mengumandangkan pendapat – pendapatnya, di antara mereka ada beberapa pimpinan rakyat yang kemudian mengaku dirinya telah diangkat menjadi Nabi penerus Muhammad, seperti Musailamah al – Kadzab.

Selain itu ada juga beberapa orang yang menyerukan bahwa kewajiban menunaikan zakat itu telah berhenti setelah wafatnya nabi, karena menurut mereka zakat itu diberikan utuk kepentingan nabi. Hal – hal ini lah yang kemudian mamaksa Abu Bakar untuk memerangi mereka dengan tujuan untuk melenyapkan penyakit – penyakit kekufuran dan pemberontakan dari tubuh islam atau yang biasa kita sebut orang munafik, karena dikhawatirkan hal ini akan merambat dan mempengaruhi umat islam yang lain.

B. SUMBER - SUMBER TASYRI’UL HUKMI

1. Al – Quran

Al – Quran adalah sumber primer dalam penggalian atau pembentukan hukum islam, apakah itu pada masa Nabi, Sahabat, Tabi’in hingga sekarang peran al – Quran sebagai Sumber Hukum Islam Pertama atau primer yang wajib didahulukan daripada sumber hukum lainnya. Al – Quran adalah kalam Allah yang diimplementasikan dalam bentuk kalam insan yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW bertahap – tahap sesuai dengan permasalahan yang terjadi di sekitar Nabi pada masa itu, atau permasalahan yang ditanyakan kepada Nabi, atau hal – hal lainnya yang belum diketahui manusia. Pengimplementasian al – Quran dalam bentuk kalam insan ini terjadi karena Sang Pemilik Kalam (Allah swt) menghendaki agar kalamNya dapat dipahami untuk dijadikan sebuah pedoman, disebarkan, diajarkan kepada seluruh umat manusia. Sehingga jika hal ini yang dinginkan maka tentu saja didalam kalam Insan tersebut harus memuat unsur – unsur esensial yang dapat diterima dan diterapkan di berbagai space, time and people di seluruh dunia. 

Oleh karena itu, walaupun kalam insan ini diturunkan di sosio – kultural suatu daerah yang terkenal dengan padang pasirnya yang panas, namun unsur – unsur esensial atau filosofi dalam kalam insan ini pasti berlaku umum bagi seluruh lapisan manusia di berbagai daerah dan waktu. Hanya saja yang dibutuhkan adalah pemahaman nilai – nilai ajarannya dengan menggunakan pemahaman atau tafsir yang sesuai dengan jiwa hukumnya. Hal ini semakin dipermudah terutama setelah dibukukannya atau dikumpulkannya ayat – ayat al – Quran dalam satu mushaf pada masa Abu Bakar, sehingga proses penggalian hukum pada masa ini semakin memperoleh kemudahan.

2. Al – Hadits

Bila ada suatu masalah hukum yang tidak terdapat pada al – Quran, maka selanjutnya para sahabat selalu mengembalikan permasalahan hukum tersebut kepada al – Hadits selaku sumber hukum kedua (Sekunder). Hal ini juga berlaku umum untuk seluruh masa perkembangan hukum islam. Pada masa Khulafa’ur Rasyidin, proses Takhrijul Hadits Listinbatil Hukmi benar – benar diawasi dengan sangat ketat, agar tidak ada satupun hadits yang diriwayatkan oleh perowi dalam keadaan maudhu’ atau dibuat – buat. Bahkan sahabat Abu bakar dan Umar pun mensyaratkan para perowi untuk menyebutkan para rijalul haditsnya ketika meriwayatkan suatu hadits tertentu.

Kelemahan dari penggunaan dalil hukum islam ini belum dibukukannya hadits, sehingga tiap – tiap sahabat memiliki kuantitas hafalan dan pengetahuan yang berbeda – beda antara satu dengan yang lain, sehingga hasil ijtihad yang diambil pun kadang – kadang bertentangan dengan pendapat sahabat yang lain. Namun, untuk mengatasi masalah ini, para sahabat sering menggunakan metode ijma’ atau diskusi serta tanya jawab dengan sahabat yang lainnya. Sehingga akan tercipta khazanah keilmuan yang mumpuni pada diri masing – masing sahabat dengan adanya diskusi atau periwayatan hadits.

3. Ijtihad Sahabat

Jika dalam suatu permasalahan yang muncul itu tidak ditemukan hukumnya dalam al – Quran maupun Hadits, maka para sahabat pun berijtihad dengan menggunakan Ro’yu atau buah pemikiran mereka. Ijtihad adalah mencurahkan segenap kesungguhan dalam penggalian hukum syar’i yang bersumber dari al – Quran dan Hadits yang telah ditetapkan sebagai dalil hukum. Ijtihad yang dilakukan para sahabat dalam periode ini biasanya menggunakan metode ijma’ atau qiyas, baru kemudian maslahah.

Ijma’ terjadi secara jama’i terhadap suatu permasalahan, namun pada masa ini ijma’ tidak harus dalam suatu acara yang formal namun bisa berbentuk diskusi atau tanya jawab antara dua orang sahabat atau lebih, yang walaupun biasanya masing – masing punya metode sendiri – sendiri sehingga jarang sekali terjadi penyatuan pendapat, namun perbedaan ini tidak sampai menimbulkan konflik di kalangan umat islam itu sendiri, hal ini malah mampu menambah tsarwah fiqhiyyah mereka.

Dalam metode qiyas para sahabat mengambil hukum dari nash-nash yang bisa dikaji ulang, dengan asumsi bahwa setiap nash itu punya illat (sebab hukum) yang menjelaskan sebab hukumnya, punya illat yang bisa dijadikan dasar penggalian hukumnya, punya illat yang bisa memungkinkan masuknya kategori permasalah baru yang di dalamnya dijumpai adanya illat tersebut, sedangkan nash itu tidak menghukumi perkara baru tersebut. Bila kedua hal itu tidak bisa dilakukan maka biasanya para Kaba’irus Shohabah mencari jiwa hukumnya atau subtansi hukumnya yang menurut mereka pasti akan mempunyai satu arah tujuan yaitu kemaslahatan dan keadilan hukum. Metode maslahah ini banyak digunakan sahabat ketika melihat bahwa dalam masyarakatnya yang baru dan majemuk, serta perbedaan sosio-kultural di antara masyarakat satu dengan yang lainnya, membutuhkan dinamisasi hukum, karena permasalahan-permasalahan sosial yang bersifat dinamis itu tidak mungkin dihukumi dengan nash-nash syar’i yang statis, yang hanya diberlakukan pada suatu daerah hukum dan masyarakat di Makkah dan Madinah saja.

Para sahabat pada masa ini tidak berijtihad atau mengeluarkan pendapat terhadap suatu perkara sehingga perkara itu muncul/ ada yang menanyakannya, jika hal itu terjadi maka mereka berijtihad untuk menggali hukumnya, jika tidak maka mereka tidak pernah membuat suatu institusi hukum semisal MUI, untuk membuat masalah sekaligus menghukuminya. Hal inilah yang menyebabkan fatwa-fatwa hukum yang dinukil dari para sahabat di periode tersebut sangat sedikit sekali.[5]

Dasar penggunaan ketiga sumber hukum ini adalah hadits yang menceritakan tentang pengutusan Mu’adz bin Jabal ke Syam oleh Nabi Huhammad SAW, sebelum mengutusnya Nabi menanyainya : “bila engkau menemukan masalah di sana apa yang akan kau lakukan?”, maka Mu’adz pun menjawab : “aku akan menghukuminya dengan Kitab Allah, dan jika aku tidak menemukan hukumnya, maka aku akan kembali pada sunnah RasulNya, dan jika aku tidak berhasil, maka aku akan berijtihad (untuk menghukuminya) dengan pikiranku”. Kemudian rasul menepuk bahunya sebagai tanda persetujuan beliau terhadap Mu’adz bin Jabal.

C. SEBAB – SEBAB IKHTILAF PADA MASA SAHABAT

Sebab – sebab ikhtilaf yang terjadi pada masa pemerintahan para sahabat sangatlah banyak, yang akan kami sebutkan sebagai berikut :

1. Perbedaan dalam memahami nash al-Quran dan Hadits. 

Hal ini disebabkan karena ketidak jelasan batasan antara pengertian nash dan perbedaan persepsi di kalangan sahabat, seperti lafadz (القرء) dalam firman Allah Ta’ala (والمطلقة يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء) Umar dan ibnu Mas’ud mengartikan bahwa (القرء) bermakna haid, sedangkan Zaid bin Tsabit mengartikannya dengan suci, dan tiap-tiap pendapat memiliki argument yang menguatkannya masing-masing.

2. Munculnya dua persoalan yang merujuk pada dua nash yang saling berlawanan.

Para fuqoha pun sepakat bahwa masalah seperti ini harus diselesaikan dengan beberapa tahapan atau metode sebagai berikut : 
  • Mencari benang merah antara kedua ayat tersebut, bila tidak ditemukan maka menggunakan metode kedua. 
  • Metode At-Tarjih yaitu mengunggulkan satu nash hukum dengan nash hukum lainnya karena ada dalil yang menguatkannya, bila tidak ditemukan dalil yang menguatkannya maka dipakailah metode ketiga.
  • Metode Nasakh yaitu hukum nash yang pertama dihapus oleh hukum nash kedua yang datang belakangan. Contohnya masalah iddah wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, apakah dia beriddah hamil atau beriddah kematian suaminya?. Dalam al-Quran disebutkan :“…Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya..”. (QS. At-Thalaq : 4). Di ayat lain disebutkan : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. (QS. Al-Baqarah : 234). Dalam hal ini Ibnu Abbas mencari benang merah dari kedua nash di atas dan beliau kemudian berpendapat bahwa iddahnya adalah masa iddah yang paling lama dari dua masa iddah tersebut, sedangkan Ibnu Mas’ud hukum ayat pertama menghapus hukum ayat kedua, maksudnya meskipun belum 40 bulan 10 hari jika sudah melahirkan maka berakhirlah masa iddahnya, hal ini diperkuatnya dengan hadits nabi yang menerangkan bahwa nabi mengizinkan Subai’ah al-Aslamiyah untuk menikah lagi setelah melahirkan anaknya beberapa hari semenjak kematian suaminya.
3. Sebagian fuqoha’ memutuskan suatu peristiwa berdasarkan pengetahuannya dari sunnah, sementara yang lain belum mendapatkannya atau menganggapnya tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai hadits shahih. 

Contoh: Perbedaan pendapat antara Ali bin Abi Thalib dengan Ibnu Mas’ud dalam masalah maskawin (mahar) wanita yang ditinggal mati suaminya sebelum mengadaka hubungan suami istri. Hal itu juga disebabkan karena pada zaman tersebut sunnah atau hadits-hadits Nabi belum dibukukan, maka tingkat kuantitas hadits yang didapat dan dihafal oleh para sahabat juga relatif beda antara satu dan yang lain, tergantung seberapa seringnya mereka berinteraksi langsung dengan Rasulullah SAW semasa hidupnya, atau kepada para sahabat periwayat hadits. Sehingga produk hukum yang mereka hasilkan mungkin berbeda karena kekurangtahuan akan hadits-hadits Nabi yang lain, yang mungkin menjelaskan atau mentafsiri hadits yang mereka hafal.

4. Perbedaan kaidah dan metode ijtihad dari para fuqoha’.

Yang kemudian memunculkan beberapa perbedaan penggunaan kaidah dan metode ini, dan muncullah beberapa perbedaan pendapat dalam satu persoalan yang sama, yang sebenarnya hal ini akan mampu memperkaya tsarwah fiqhiyyah. Contohnya perbedaan penentuan illat hukum. Ini terjadi ketika seorang sahabat ingin mengetahui sebab suatu peristiwa hukum. 

Contoh: Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa nabi Muhammad SAW mempercepat langkah ketika tawaf dengan lari-lari kecil, kemudian sebagian besar sahabat berkata: ”lari-lari kecil ketika tawaf itu sunnah”. Ibnu Abbas berkata: ” tidak sunnah”. Langkah nabi dipercepat karena orang musyrik menghina orang islam yang kelihatan loyo ketika berthawaf. Ketegaran langkah itu ditunjukkan oleh Nabi SAW agar tidak dikatakan loyo.

5. Mungkin ini yang paling penting, yaitu bahwa kebebasan dan kesungguhan para fuqoha dalam melakukan ijtihad terhadap berbagai masalah yang mereka hadapi. Kebebasan dan kesungguhan itulah yang menjadi sumber konseptualisasi dan redinamisasi fiqih periode ini.

D. CONTOH – CONTOH IJTIHAD SAHABAT DALAM MENGHADAPI PROBLEMATIKA HUKUM ISLAM

1. Kekhalifahan Abu Bakar As – Shiddiq
  • Penghimpunan Al-Quran
Setelah Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, banyak sekali terjadi pemberontakan serta penyelewengan akidah di beberapa daerah kekuasaan islam, termasuk diantaranya adalah seorang Musailamah al-Kadzab yang mengaku menjadi Nabi setelah Nabi Muhammad, kemudian Abu Bakar pun memerintahkan untuk memerangi kelompok penyeleweng tersebut hingga akhirnya setelah pertempuran yang sengit, kemenangan diraih pasukan Abu Bakar dengan meninggalkan banyak syuhada’, termasuk di antaranya jumlah besar para penghafal al-Quran.[6] Karena kekhawatiran akan hilangnya al-Quran bersamaan dengan semakin berkurangnya para penghafal al-Quran, maka Umar bin Khattab pun mengusulkan pengumpulan al-Quran dalam satu kumpulan (mushaf) kepada Abu Bakar, tentu saja Abu Bakar menolak usulan umar tersebut, karena sebagai sahabat yang selalu dekat dengan Nabi, yang selalu mematuhi dan membenarkan segala perkataan dan perbuatan Nabi SAW, pantang bagi Abu Bakar untuk melakukan hal-hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW, apalagi hal-hal yang berkenaan dengan al-Quran selaku sumber hukum Primer Islam.

Atas kegigihan Umar dalam memberikan argument, bahwa hal itu untuk menghindari punahnya ayat-ayat al-Quran yang disebabkan oleh berkurangnya para penghafal al-Quran, dan hal itu akan menjadikan kemaslahatan umat islam, maka Abu Bakar pun menyetujui usulan Umar tersebut. Dia pun memerintahkan kepada sang penulis wahyu terbanyak, Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan al-Quran dalam satu kumpulan atau dalam satu mushaf. 
  • Kekhalifahan Umar bin Khattab
a. Tentang Satu Orang Yang Dibunuh Oleh Beberapa Orang

Pada masa kekhalifahan Umar bin al-Khattab, Khalifah kedua setelah Abu Bakar, terjadi suatu peristiwa hukum berupa pembunuhan massal, atau pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa orang sekaligus terhadap satu orang, bagaimana hukumnya?. Ketika dihadapkan pada masalah tersebut, Umar merasa bimbang, kemudian dia pun mendiskusikannya dengan Ali bin Abi Thalib, maka Ali bertanya: “Apa pendapatmu jika ada sekelompok orang yang bersama-sama mencuri Unta, apakah engkau akan memotong tangan mereka semua?”, Umar menjawab: “Ya”. Ali pun berkata: ”Begitulah . . . . ,”. Kemudian atas dasar pola pikir atau analogi terebut, maka Umar menetapkan hukum bagi mereka, “Andaikata penduduk Shan’a itu semua bersama-sama membunuh pria itu, sungguh akan aku bunuh mereka semua”.[7]

b. Tentang Pencuri Pada Masa Paceklik

Khalifah umar tidak menghukum potong tangan seorang pencuri yang mencuri makanan di musim paceklik, karena mempertimbangkan kemaslahatan umat, disamping bahwa memelihara nafs (jiwa) itu lebih didahulukan daripada memelihara mal (harta). Jadi, perlindungan terhadap nyawa manusia saat itu lebih dipentingakan daripada harta.

c. Bagian Zakat Orang Mu’allaf

Terhadap orang mu’allaf, di masa kekhalifahannya Umar tidak memberi bagian zakat kepada mereka, pada zaman Nabi Muhammad mu’allaf adalah mereka yang diambil simpatinya agar masuk islam dengan memberikan zakat kepada mereka. Terhadap mu’allaf umar berkata: ”Sesungguhnya Allah telah menguatkan islam dan tidak membutuhkan kamu. Jika kamu bertaubat, silahkan, tetapi jika tidak maka antara kamu dan kami adalah pedang.” Di sini umar melihat bahwa yang paling maslahat pada saat perluasan islam saat itu adalah dengan tidak memberikan zakat atau harta kepada orang muallaf karena pada saat itu orang-orang islam sudah sangat banyak sekali sehingga pada saat itu Umar memang benar-benar ingin mengetahui apakah mereka mau masuk islam karena kesadaran sendiri atau karena iming-iming zakat yang diberikan islam.

3. Kekhalifahan Utsman bin Affan

a. Mushaf Utsmani

Pembukuan atau penulisan al-Quran dengan satu macam versi qiroah dan membuang mushaf versi lain merupakan salah satu bentuk ijtihad Usman dalam menghadapi keanekaragaman bacaan al-Quran yang mengarah kepada keragaman pemahaman terhadap islam, selanjutnya, pertentangan di kalangan umat islam. Dan ijtihad itu pun disetujui oleh para sahabatnya. Seperti diketahui bahwa al-Quran diturunkan atas 7 macam huruf (qiroah), artinya dengan dialek dan redaksi yang bermacam-macam, sehingga terbuka peluang berbedanya hafalan seorang sahabat dengan sahabat yang lain. 

Misalnya, dalam surah al-Jumu’ah disebut (فاسعوا إلى ذكرالله), ada sahabat lain yang membacanya (فامضوا إلى ذكر الله). Perbedaan redaksi di sini tidak mengubah makna, namun demi keutuhan, keseragaman al-Quran dilaksanakan oleh Khalifah Utsman bin Affan. 

b. Tentang Unta Yang Berkeliaran

Masalah unta yang berkeliaran dan tidak diketahui pemiliknya, apakah boleh “diamankan” seperti barang temuan lainnya atau tidak. Ikhtilaf terjadi karena ada hadits Nabi yang menyebutkan bahwa unta – unta itu harus dibiarkan hingga ditemukan oleh pemiliknya sendiri. Ketika kondisi pemerintahan mulai mengalami goncangan keamanan, Utsman berpendapat bahwa unta-unta itu sebaiknya diamankan. ”Rasulullah melarang untuk mengamankannya, karena tidak mungkin ada yang mencurinya. Namaun Sekarang, dalam suasan melemahnya ghirah keagamaan ini unta-unta harus diamankan untuk kemaslahatan. Kalau tidak ia akan dicuri orang.”

Sikap Utsman ini bertentangan dengan kebijaksanaan Umar yang mengamalkan hadits Nabi tadi. Di sini Utsman tampaknya menerapkan illat. Umar melaksanakan nash dari hadits Nabi karena adanya illat, yaitu “suasana aman”, ketika illat itu tidak ada, maka nash tidak cukup syaratnya untuk diterapkan. Jika tetap diamalkan maka pengamalan nash itu tidak akan mewujudkan kemaslahatan yang merupakan tujuan utama nash tadi.

4. Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib

a. Tentang Wanita Yang Ditinggal Mati Suaminya

Para fuqoha sahabat berbeda pendapat tentang bagaimana hukum seorang wanita yang ditinggal mati suaminya sebelum melakukan hubungan suami-istri, padahal belum juga ditentukan kadar mas kawin atau maharnya. Menurut ibnu Mas’ud, wanita itu berhak mengambil maskawin seperti biasa dari harta peninggalan suaminya seperti terjadi pada Barwa’ binti Wasyik al-Aslamiyah di zaman Rasulullah.

Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa, ketentuan seperti itu merugikan satu pihak. Karenanya, menurut Ali, wanita itu tidak berhak mengambil maskawin dari harta peninggalan suaminya sebelum terjadi hubungan suami-istri. “Kami tidak akan meninggalkan al-Quran hanya karena pernyataan seorang saja”, kata Ali. Dari sini nampak bahwa Ali telah sampai pada penggunaan qiyas, sebab dalam al-Quran tidak ada ketentuan tentang masalah ini, yang ada hanyalah wanita yang ditalak oleh suaminya sebelum melakukan hubungan suami-istri. Dan rupanya Ali mengqiyaskan wanita yang ditinggal mati oleh suaminya sebelum melakukan hubungan tadi dengan wanita yang ditalak dalam keadaan yang sama.

E. RUANG LINGKUP IJTIHAD PARA SAHABAT

Yang bisa kita lihat dari berbagai ijtihad sahabat – di antaranya seperti dicontohkan di atas – adalah adanya ruang lingkup ijtihad yang cukup luas. Para sahabat tidak hanya menyikapi hukum-hukum islam secara ideal yang terlepas dari konteks sosial, tetapi dimensi sosial itu telah menyadarkan mereka untuk mencari jawaban-jawaban ideal islam terhadap berbagai persoalan yang berkembang. Interpretasi terhadap nash (seoerti penggunaan teori ‘illah yang dilakukan Utsman), adalah contoh nyata betapa para sahabat secara sungguh-sungguh berusaha memahami maqashid tasyri’ (tujuan-tujuan syariat) dari suatu penerapan hukum.

Sahabat Utsman misalnya, berkesimpulan bahwa dibiarkannya unta-unta berkeliaran pada masa Nabi Saw karena kondisi saat itu aman. Jadi, kerangka penerapan hukum ini dengan sendirinya menuntut adanya situasi aman sehingga memungkinkan unta-unta itu menjumpai pemiliknya. Jika tidak, maka nash hadits itu tidak tepat untuk diterapkan, sebab akan memberi peluang terkorbankannya kemaslahatan umum. Kerangka teori ini kemudian dikembangkan dan dirumuskan oleh para ahli metodologi islam (ushuliyyin) dalam kaidah ushul fiqh : “al-hukmu yadurru ma’al ‘illah wujudan wa ‘adaman” yang artinya: hukum itu berputar atau berhubungan dengan munculnya illah atau tidak.

Bahkan pengamatan yang lebih mendalam akan membuktikan bahwa rumusan para fuqaha dan mujtahidin pada tahun-tahun pertengahan mengacu pada kerangka dan ruang ijtihad sahabat. Qiyas, maslahah, mursalah, istihsan dan kaidah-kaidah fiqhiyah lainnya mendapat justifikasi dari para sahabat. Hal ini semakin menguatkan kesimpulan bahwa fiqih sejak periode-periode awal memberikan ruang gerak dinamis bagi perkembangan, pembaharuan dan kehidupan. Dengan kata lain, tradisi ikhtilaf para sahabat mengacu pada kerangka acuan istidlal, suatu proses ijtihad yang memperkaya tsarwah fiqhiyah dalam sejarah perkembangannya.












BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Sejarah hukum islam pada masa Khulafaur Rasyidin secara periodik terbagi menjadi 4, yaitu periode Abu Bakar, Periode Umar bin Khattab, periode Utsman bin Affan dan periode Ali bn Abu Thalib. Yang perlu digaris bawahi dalam pemahaman mengenai tasyri’ pada masa ini adalah bahwa meskipun disebut periode Khulafa’ur Rasyidin, namun dalam praktisnya para mujtahid hukum bukan hanya para Amirul Mukminin yang 4 saja, akan tetapi seluruh kibarus sahabat yang hidup pada masa ini juga sering berijtihad terhadap semua permasalahan yang dirasa aktual dan dibutuhkan di antara umat islam.

Dalam hal permasalahan hukum itu telah ada hukumnya dalam nash al-Quran, maka digunakanlah hukum yang didapat dari nash tersebut. Dan bila hukum permasalahan itu tidak ditemukan dalam al-Quran maka mereka mencari hukumnya di dalam Hadits, namun karena hadits masih belum dibukukan, maka sering terjadi perbedaan pendapat mengenai satu persoalan yang sama tetapi menghasilkan produk hukum yang berbeda, tergantung kapasitas hadits yang dimiliki masing-masing sahabat. Untuk menghadapai masalah ini, para sahabat seringkali berdiskusi untuk saling bertukar wawasan tentang hadits yang mereka hafal. Dan bila mereka tidak dapat menemukan hukumnya di dalam al-Quran dan Hadits maka mereka berijtiad dengan menggunakan Ro’yu mereka sendir-sendiri, maka kemudian terciptalah metode Qiyas, penggalihan illat hukum, ijma’, hingga akhirnya pada tahap penelusuran substansi syari’at dengan menggunakan metode maslahah, yaitu mencari hal yang maslahat bagi manusia secara umum.

Adapun sebab ikhtilaf pendapat para sahabat saat itu adalah perbedaan persepsi tentang suatu nash al-Quran atau Hadits secara tekstual, yang biasanya memerlukan kajian kebahasaan yang tinggi. Di samping itu kadar jumlah hadits yang berbeda yang diterima kesemuanya tergantung pada seberapa dekat dan sering seorang sahabat berinteraksi dengan Nabi SAW. 

Beberapa contoh hasil ijtihad para sahabat dalam penentuan hukum islam terhadap suatu persoalan. Contohnya pembukuan al-Quran dalam satu mushaf oleh Abu bakar karena kekhawatirannya akan hilangnya al-Quran dengan hilangnya para syuhada’ yang hafal al-Quran. Contoh lain penulisan al-Quran dalam satu huruf atau qiro’ah untuk menyeragamkan bacaan al-Quran secara menyeluruh bagi umat islam yang pada saat itu semakin luas wilayahnya.






DAFTAR PUSTAKA

Al-Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran. Diterjemahkan oleh Mudzakir AS. Cet. Kesebelas. 2007. Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa.

Al-Usairy, Ahmad. Sejarah Islam (Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX). Cet. Keenam. 2008. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.

Ham, Musahadi. Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya pada Perkembangan hukum islam. 2000. Semarang: CV. Aneka Ilmu.

Hashem, O. SAQIFAH: Awal Perselisihan Umat. Cet. Kedua. 1989. Jakarta: Yapi.

Hudhori, Muhammad. Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami. Tanpa Tahun. Jeddah: Al-Haromain.

Khalil, Rasyad Hasan. Tarikh Tasyri’: Sejarah Legislasi hukum Islam. 2009. Jakarta: Amzah. 

Khallaf, Abdul Wahab. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam. 1985. Yogyakarta: CV. Bayu Grafika Offset.

Sirry, Mun’im A. SEJARAH FIQIH ISLAM: Sebuah Pengantar. 1995. Surabaya: Risalah Gusti.

Zuhri, Muhammad. Hukum islam dalam lintasan sejarah. 1996. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.




[1]. Kibarus Sahabat adalah sahabat yang bertemu/semasa dengan Nabi Muhammad dan masuk islam serta beriman pada Nabi. Sedangkan sahabat sighar adalah sahabat yang hidup atau pernah bertemu dengan Nabi SAW semasa kecilnya dan kemudian masuk islam.
[2]. Lihat Abdul Wahab Khallaf. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam. 1985. Yogyakarta: CV. Bayu Grafika Offset. Hal. 21.
[3]. Riwayat tersebut dinilai dho’if oleh beberapa Ulama, karena kemungkinan diriwayatkan oleh orang pendukung syi’ah yang juga ingin menjelekkan pribadi umar bin khattab.
[4]. Lihat O. Hashem. SAQIFAH: Awal Perselisihan Umat. Cet. Kedua. 1989. Jakarta: Yapi. Hal. 240-241.
[5]. Muhammad Hudhori. Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami. Tanpa Tahun. Jeddah: Al-Haromain. Hal. 114.
[6]. Lihat Ahmad Al-Usairy. SEJARAH ISLAM (Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX). Cet. Keenam. 2008. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. Hal. 188.
[7]. Lihat Muhammad Zuhri. Hukum islam dalam lintasan sejarah. 1996. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Hal. 40.



Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer